Lihat ke Halaman Asli

Bayu Aristianto

Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Paradoks Kritik : Sebuah Kedewasaan Kita Bermedia

Diperbarui: 5 Agustus 2024   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kritik adalah ruang dialog, mengandung ketidaksetujuan, perbedaan kesepahaman, serta pengandaian terselubung bahwa kondisi sedang tidak baik-baik saja. Setiap kritik berujung atas pengharapan kondisi "Utopia". Hasrat akan keadaan yang lebih baik serta memunculkan angin perubahan. Meskipun bernada satir dan seolah terglorifikasi, namun kritik, tumbuh dari rahim persenyawaan antara kepedulian, kemajuan, dan keagungan.

Kita ketahui bahwa transmisi kritik dapat diungkapkan melalui aspirasi melalui ragam media saluran. Meskipun kerap kritikan juga menimbulkan ironi yang disinyalir merupakan buah dari kebebasan menyatakan pikiran. Dengan kata lain kritik tidak berujung pada perubahan namun terkurung sebagai wacana sekilas waktu dan tidak memiliki arah perubahan yang jelas.

Hal demikian telah mengubah kritik hanya sebatas "artikulasi citra" yaitu hanya ingin tampil bak "robin hood" demi keuntungan ego dan penilaian publik. Akhirnya pun dapat ditebak kritikan model tersebut, akan dilarung di jagad Samudera informasi. Tengelam bersama idealisme kapitalis yang diselubungi oleh rasa solidaritas dan kedukaan bersama. Dengan kata lain sejatinya kritik harus memiliki pijakan yang seimbang agar memiliki daya ubah dan berdaya desak atas setiap gerakan sosial.

Sementara itu sesungguhnya kita harus jujur membuat "pengakuan dosa" bahwa keterampilan menyampaiakan kritik tidak selalu segendang seirama dengan aspirasi yang punya keluhuran atas perubahan. Kritik yang kini lebih kuasa adalah keviralan untuk dicapai demi menimbulkan kebisingan, keriuhan, dan kegemparan di media sosial. Diakui juga bahwa kritikan "noise" hanya menimbulkan perubahan "ornamental" sesaat, tetapi perubahan itu jelas tidak sistemik dan bertahan lama.

Keberadaan media sosial pun hanya sebatas "pemecah ombak" kemarahan publik terhadap sebuah isu, tidak sampai bergulung sebagai gelombang perubahan yang punya daya tipping the point, mengeser titik, Inila paradoks kritik di era media sosial saat ini.

Ujung dari kondisi demikian ialah : seakan-akan demokrasi kita riuh rendah oleh pelbagai kritikan, saluran aspirasi penuh dengan ragam wacana perbaikan, tetapi sesunggnya secara substantif ini seperti keriuhan di pasar tradisional, tidak benar-benar melahirkan perubahan mendasar dan berakar.

Jika hal ini terjadi terus, maka semakin nyata dipastikan akan muncul keadaan berikutnya yang lebih mencemaskan yaitu "politik dagang sapi" dimana kritikan hanya dijadikan pemanis secara formalitas agar terkesan demokrasi kita sedang baik-baik saja. Ladalah!!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline