Lihat ke Halaman Asli

Bayu Aristianto

Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Ada yang Salah pada Demokrasi Kita?

Diperbarui: 11 Agustus 2020   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebentar dulu, jangan langsung timbul anggapan kalau judul di atas adalah pernyataan agitatif, propaganda, atau hasutan. Adalah kekeliruan apabila sebuah lontaran pernyataan disikapi hanya lewat satu perspektif, boleh jadi hal berbeda akan terjadi jika kita mau menela'ahnya melalui cara pandang berbeda. 

Mengapa Demokrasi yang harus disalahkan? Disalahkan karena apa dan kenapa, lalu bisa saja yang membuat kesalahan tersebut "hanya" oknum berkedok demokrasi.

Pada dasarnya Demokrasi adalah panduan hidup atas dasar consensus bersama, tanpa sekat dan paksaan menentukan pilihan. Demokrasi ibarat wadah air, betapapun deras atau kecilnya air yang kita tuangkan dalam wadah tersebut, semakin lama maka air akan merembes keluar dari wadah, karena ia memiliki takaran dan ukuran. 

Kesesuaian dan keselarasan adalah nilai paling substantif dalam sebuah iklim berdemokrasi. Boleh jadi ketika kita hidup berdemokrasi dengan kesesuaian yang berlebihan dan keselarasan tanpa jeda, maka yang terjadi bukanlah demokrasi namun mengejawantah jadi sebuah ideologi "kebeblasan". 

Akhirnya jargon "ini atas nama menjunjung demokrasi" hanya diksi nir-makna karena disampaikan dan dilakukan tidak berdasarkan pada kesesuaian dan keselarasan.

Ada kasus menarik untuk dicermati bersama, di tengah agenda pilkada tahun 2020, masyarakat kembali disodorkan oleh drama politik. Barangkali boleh saja kita sebagai penikmat drama mengeluarkan ekspresi haru biru, kesal, sedih, gembira tak berkesudahan, atau cuek bebek karena kita tahu drama tersebut telah terskenariokan, singkatnya sudah tahu ending-nya.

 Tapi naf kalau politik pemilihan kepada daerah lalu seluruhnya dianggap drama. Tunggu dulu bukankah masyarakat kita sudah sangat cinta dengan hal-hal bernuansakan drama, apa-apa harus diterjemahkan sebagai intrik, ada protagonis sebagai kelompok tertindas ada antagonis sebagai kelmpok penindas. 

Baru-baru ini pemilihan kandidat calon wakil rakyat sebagai perwakilan rakyat di eksekutif diwarnai oleh politik kekerabatan atau bahasa kerennya politik dinasti. 

Incumbent (Petahana) punya sirkulasi kuasa untuk dapat mengerakkan dan memobilisasi preferensi elektablitas seseorang, apalagi keluarga tentu daya ungkit untuk membantu terpilihnya semakin kuat.

Tapi kenapa harus repot-repot mempermasalahkan politik kekerabatan alasan paling kuat, semua orang tanpa pengecualiaan mempunyai hak konstitusi dipilih dan memilih. 

Memasang teralis untuk menghambat anggota keluarga penguasa untuk dipilih sama saja mengekang dan membatasi hak berkonstitusi dan tentu saja melanggar mandat human right (hak asasi manusia). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline