Itulah Pengalamanku
Iya itu pengalaman saya sendiri. Pertama melintas batas negara lewat jalur tradisional. Yaitu di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kuching, Sarawak Malaysia. Kejadiannya tahun 1986 ketika saya masih kuliah. Pulang liburan semester ke daerah kelahiranku di Pemangkat, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Pengalaman ini sungguh tak pernah saya lupakan.
Kabupaten Sambas berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak, Malaysia. Belum ada PLBN (Pos Lintas Batas Negara) waktu itu. PLBN pertama adalah Entikong yang baru dibangun tahun 1989. Itu juga adanya di Kabupaten Sanggau.
Jadi selama belum ada PLBN resmi, orang-orang melintas batas lewat jalur tradisional yang jumlahnya sangat banyak disepanjang perbatasan Indonesia -- Malaysia.
Sesuai sebutannya, Jalur Tradisional, memang benar-benar tradisional. Kita melintasi sempadan dengan jalan kaki lewat jalan setapak. Melewati celah pengunungan yang menjadi perbatasan antara dua negara. Jalan setapak itu memang sudah sejak puluhan tahun yang dibut oleh penduduk asli suku Dayak.
Para pelintas umumnya adalah para pedagang lintas batas. Hingga kini profesi ini masih banyak yang menggelutinya, walau sudah ada beberapa PLBN resmi. Saya diajak oleh bibi saya yang memang berprofesi sebagai pedagang lintas batas.
Perjalanan dimulai dari kota Sambas, menyewa perahu bermotor menuju hulu sungai Sambas. Kami yang akan melintas batas berjumlah 4 orang. Saya yang masih muda waktu itu senang sekali dapat pengalaman menumpang perahu bermotor menyusuri sungai hingga ke hulu.
Saya benar-benar menikmati perjalanan ini. Mata hampir tidak berkedip menyaksikan panorama belantara yang masih perawan. Sesekali ketemu perkampungan kecil atau sekedar beberapa rumah penduduk.
Saking jauhnya rute yang ditempuh, menjelang tengah malam kami beristirahat. Dan paginya baru melanjutkan perjalanan. Kali ini sungai yang dilewati semakin kecil dan dangkal. Pohon-pohon hutan menjulang tinggi dan rimbun. Sehingga sepanjang perjalanan tidak terasa panas oleh sinar matahari.
Suasana masih agak pagi ketika perahu kami sampai pada ujung sungai yang tidak bisa lagi disusuri. Disitu ada beberapa rumah penduduk dan sebuah warung yang terlihat ramai. Mereka menyebut desa ini dengan nama Desa Sitas. Uniknya, meski masih dalam wilayah RI, uang Ringgit Malaysia juga merupakan mata uang yang berlaku di kampung itu.
Setelah minum-minum sekedarnya kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan kali ini ditempuh dengan jalan kaki melintasi punggung gunung yang menjadi batas antara Indonesia dan Malaysia. Beruntung cuaca cerah sehingga jalanan kering tidak becek.