Lihat ke Halaman Asli

Mata-mata yang Bercahaya Itu...

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412448214601456894

Kemarin, di depan mahasiswa semester 1 yang masih imoetz2 itu saya mengajar mata kuliah Teori

Sastra. Saya menyampaikan hal-hal yang menjadi kesepakatan (tepatnya harus menjadi perhatian untuk dilaksanakan). Adapun hal-hal yang saya sampaikan adalah seputar “peraturan” untuk mengikuti dengan baik mata kuliah yang saya ampu. Di antaranya saya menyampaikan:

1.Mahasiswa wajib untuk membiasakan membaca, supaya memiliki wawasan yang okey. Sebagai bonus awal saya “menghadiahkan” kepada mahasiswa untuk membaca sebuah novel dan membuat ressensi kurang lebih 4 halaman kuarto. Tugas diserahkan 1 minggu sejak disampaikan kesepakatan dan setiap mahasiswa siap jika ditunjuk presentasi.

2.Mahasiswa wajib hadir 75% dari tatap muka selama 1 semster (jumlah tatap muka per semester diperkirakan antara 12 – 14 X pertemuan).

3.Dosen wajib diingatkan (melalui SMS) untuk hadir mengajar 3 jam sebelum perkuliahan.

4.Jika diketahui ada mahasiswa yang melakukan plagiat (copy paste) sehubungan tugas yang diberikan dosen, maka mahasiswa yang bersangkutan harus rela untuk mendapat nilai D pada mata kuliah Teori Sastra.

5.jam perkuliahan tidak selalu seperti yang tercantum pada jadwal. Kemungkinan banyak tambahan, jadi jika suatu ketika dosen tidak bisa mengisi (misal karena ada rapat, atau keperlua

n lain), jumlah tatap muka selama 1 semester tetap bisa terpenuhi.

Kemudian saya mulai menyampaikan sejumlah pokok bahasan yang akan dipelajari selama satu semester.  Untuk menutup perkuliahan saya mengadakan game. Membuat kalimat  yang indah dari satu benda atau satu kata  inspiratif. Jika mungkin dikembangkan bisa dibuat menjadi satu paragraf atau satu stanza puisi. Saya contohkan dengan menggunakan kata mata, maka saya membuat kalimat: “Kuingin melihat kejujuran berenang di matamu. Maka, menataplah padaku supaya aku bisa mengerti apa yang ada di hatimu..

“Hwaaaa….!” Kelas pun langsung riuh dengan kalimat yang saya buat.

“Silakan buat kalimat dengan kata biru!” seru saya sambil menunjuk salah seorang mahasiswa.

“Kulihat gadis berkerudung biru itu bertasbih!”

“Hwaaaaa!” lagi-lagi kelas riuh.

“ Boleh juga kalimatmu,” ujar saya sambil mengacungkan jempol. “Sekarang buat kalimat dengan kata pelangi!” saya menunjuk salah seorang mahasiswi.

Sang mahasiswi yang saya tunjuk tertunduk malu-malu.

“Ayo… ayo…!’ teman-teman mahasiswi bersorak-sorak memberi semangat.

“ Kulihat pelangi sehabis turun hujan..” mahasiswi membuat kalimat bernada IPA.

“Siiippp!” saya masih mengacungkan jempol.

“Selanjutnya buatlah kalimat dari kata detik!“ seru saya menunjuk mahasiswa yang tampak sedang memandangi saya.

“Detik-detik kematian! “ kata mahasiswa yang saya tunjuk.

“Itu belum kalimat. Ayo buat kalimat yang strukturnya lengkap,” pinta saya lagi.

Mahasiswa itu tampak kebingungan membuat kalimat.

“Apa, Mas?” tanya saya sembari mendekat.

“Selama  lima tahun  aku menunggu detik-detik kematianku,” ujar mahasiswa asbun membuat kalimat

horror.

"Hwaaaaaaa...!" lagi-lagi hwaa menggema ke seluruh dinding kelas.

“Hiii, mengerikan. Lima tahun kok nungguin mati?” ujar saya  mengomentari kalimat asbun sang mahasiswa. “Detik itu satuan waktu yang terpendek. Masa menunggu detik kematian sampai lima tahun? Ngapain nggak: Seratus tahun lagi akan tiba detik-detik kematianku…” ujar saya.

Mahasiswa pun riuh mengomentari temannya yang sedang menunggu kematian hingga lima tahun tersebut.

“Sekarang kalau kalian buat kalimat dari benda inspirasi ini bagaimana?” ujar saya sambil menunjukkan sebuah penghapus.  “Syukur bisa buat intro sebuah  cerpen!” tambah saya lagi.

Kelas yang dari tadi ber hwaaa hwaaa mendadak sepi. Tampaknya mereka mulai berpikir, kalimat apa yang bisa dibuat dari sebuah benda bernama penghapus yang bisa dibuat cerpen.

“Ayooo. Buat kalimat. Yang penting ada kata hapus-nya??!” tantang saya.

Masih belum ada yang menjawab. Malah ada di antara mereka yang bola matanya tampak berputar-putar supaya kelihatan sedang berpikir.

“ Jangan mengawali dengan kalimat “penghapus adalah sebuah benda yang digunakan untuk…” Pasti tidak akan jadi cerpen!” seru saya.

Beberapa mahasiswa tersenyum.

“ Belum bisa?” tanya saya menagih. “Bagaimana kalau dari benda berupa penghapus ini kemudian dibuat kalimat seperti ini.

Aku telah berusaha untuk menghapus namamu di hati. Tapi betapa sulit. Semakin ku berusaha menghapus namamu, semakin lekat bayang-bayangmu mengikuti setiap langkahku.

Bla… bla…bla… dan seterusnya…” ujar saya kemudian.

“Hwaaaa…” kelas berhwaa lagi.

“Ini kuliah awal,” kata saya setelah “hwaa” mereda. “Pada pertemuan yang akan datang, kita akan bermain game lagi. Saya harap Anda dapat lebih cepat lagi dalam menjawab, pada saat saya meminta membuat sebuah kalimat yang mungkin dapat berkembang menjadi paragraf. Bagaimana supaya Anda lihai membuat kalimat?  Satu resepnya: RAJIN MEMBACA. Sebab, dengan banyak membaca, penguasaan Anda akan kosa kata tentu kian bertambah. Anda siap?!”

“SIaaaappp!” sahut mahasiswa  kompak.

"Oh, ya apakah hari Senin besok jam kuliah kalian padat?" tanya saya.

"Tidaaaakkkkk?" koor paduan suara terdengar kembali.

"Bagaimana kalau saya menambah jam kuliah untuk mata kuliah ini. Anda siap?"

"Siaaappp!"

"Dari pukul 13 - 14.40, terus nyambung lagi pukul 15.30-17.10. Bagaimana?"

"Siaaaappp!" sahut mereka kompak, di luar dugaan saya

Di antara jawaban yang tampak kompak itu barangkali ada yang sekadar ikut-ikutan, ada yang tidak ikhlas, ada   yang setengah ragu. Tapi beberapa mata mahasiswa saya lihat berpendar-pendar penuh cahaya. Saya berharap, mata bercahaya ini suatu saat nanti akan menemukan bacaan-bacaan yang membuat mereka senantiasa kecanduan dan kehausan membaca.

Suatu hari nanti, di perkuliahan, akan saya ajak mereka bermain “game  kata” lagi. Dari bacaan mereka, saya harap mereka akan dapat merangkai kalimat penuh makna dan mereka pahami. Saya akan meminta mereka mengurai keterangan dengan menggunakan kata-kata  misalnya: “strukturalisme”, “stilistika”, “sosiologi sastra”. Ya…ya, semoga mata-mata bercahaya itu suatu saat nanti…

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline