Lihat ke Halaman Asli

Jangkrik!

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14169323771419657436

[caption id="attachment_356123" align="aligncenter" width="300" caption="gambar diambil dari dyahbiologi.blogspot.com"][/caption]

Jangkrik. Lebih dikenal sebagai kata makian--yang lazimnya diucapkan penuh ekspresi--daripada sebagai seekor serangga yang memiliki bunyi nyaring nan syahdu. "Jangkrik! Bar due yang terus ora tau ketok (Jangkrik! Setelah punya pacar terus nggak pernah nongol)!" Begitu contoh penggunaan kata jangkring sebagai makian.

Jadi, jangkrik bisa menggantikan kata sialan, jancuk, atau bajingan, sesuai dengan konteksnya. Dan harus sesuai konteksnya! Misalnya: kalau kita ngomongnya sama Sujiwo Tedjo, gunakan kata jancuk. Itu lebih etis karena doi Presiden Republik Jancukers. Beda lagi kalau menggunakan kata bajingan, jangan ditujukan kepada sembarang orang. Lebih afdolnya sih kepada satu golongan: koruptor.

Zaman saya masih kecil, kira-kira kelas 2 SD (Orde Baru sudah tumbang, yeeeyy!), lagi musim-musimnya memburu jangkrik. Biasanya sore hari, saya dan teman-teman sepermainan menjelajah sawah bertepi sungai. Kami berjalan di sepanjang pematang sawah sambil bernyanyi.

Mbak Megawati... Soekarno Putri... Aku ora sudi presidene pak Habibi...

Begitulah liriknya. Jujur saja saya juga heran kok dulu ada lagu kayak gitu. Saya bukan kader PDI-P. Bahkan saat itu, saya tak tahu Megawati dan Habibi. Siapa yang menciptakan, juga tak tahu. Asal gampang dan enak didengar, yasudah, nyanyikan! Mungkin itu adalah iklan politik paling berpengaruh dalam hidup saya.

Kembali ke jangkrik. Dulu saya sempat memberikan peringkat jangkring berdasarkan kemampuan ngerik (mengeluarkan bunyi krik krik krik). Jika bunyinya jelek, cemplang, wagu maka dia termasuk kasta bawah. Jika bunyinya kuat, lama, nyaring, syahdu, dan merdu, termasuk kasta tinggi. Masing-masing punya nama jenis.

Jenis pertama adalah jalondo. Doi adalah jangkrik yang masih gundul. Jadi belum bisa ngerik. Selanjutnya, gulo gosong. Saya tak tahu pasti darimana doi dianugerahi nama itu. Tapi memang jangkrik ini warnanya gosong. Serius! Ukurannya paling kecil, namun sudah bisa ngerik walau suaranya cemplang dan wagu. Lalu atasnya gulo gosong ada jangkrik jaliteng. Sudah tentu warna jangkrik ini iteng (hitam), tetapi hitamnya mengkilapbeda dikit sama bus Bejeu. Kemampuan ngeriknya lumayan bagus. Cocok untuk pengantar tidur. Setingkat di atas jaliteng adalah jarbang. Tak ada hubungannya sama Jarvis walaupun warnanya samasama merah. Kemampuan ngerik-nya bagus. Di atas standarlah. Si jarbang ini punya saudara bernama jarbang geni. Bedanya: tampilan si jarbang geni lebih dinamis dengan corak garis api di sepanjang pangkal sayapnya. Kemampuan ngerik-nya keren dan tahan lama. Enggak bakal bosen dengerinnya. Baik jarbang maupun jarbang geni susah mencarinya. Langka.

Oh ya, ada yang terlupa. Si mawar. Bukan nama samaran! jangkrik yang satu ini kemampuannya biasa-biasa saja sih. Yang menarik hanya ada warna garis kuning di jidatnya sehingga tampangnya tampak garang. Padahal levelnya cuma di bawah si jaliteng.

Di antara jangkrik-jangkrik di atas, yang paling keren adalah si mego mendung. Tuh, dari namanya saja sudah ngeri, kan. Konon, jangkrik ini hidup di sawah-sawah. Keluarnya pas lagi cuaca mendung, gerimis, atau selepas hujan. Sangat susah nyarinya. Bisa lihat doi dalam perburuan saja, sudah beruntung. Dan saya termasuk yang beruntung. Kemampuan ngerik-nya wuuiih, luar biasa. Kalau saja sayapnya dimodifikasi sedikit, bisa kayak suaranya Raisa, men! Tampang jangkrik ini juga tak kalah dengan si Aliando dan Al. Di kepalanya ada titik-titik warna emas. Terus di sepanjang pangkal sayapnya juga ada warna emas bergaris. Keren.

Begitulah saya memberi peringkat kepada teman-teman kecilku, jangkrik. Mereka sepertinya baik-baik saja bila harus merelakan namanya direnggut. Toh, mereka sudah punya nama yang lebih keren.

Namun demikian, kita sebagai manusia yang berakhlak dan berakal, janganlah serakah. Cukuplah nama jangkring yang kita pinjam. Seperti yang kita tahu, si mawar juga namanya sering dibawa-bawa dalam televisi, radio, maupun koran. Sebut saja Mawar. Kasian kan jangkriknya. Si jaliteng juga. Sesekali dia dibawa-bawa kepada orang yang berkulit hitam, walau orang itu hitamnya tak mengkilap.

Belakangan, suara jangkrik juga dijadikan pertanda bagi orang-orang yang daya bercandanya lemah. Tak mencapai klimaks. Mereka diejek dengan "krik krik krik". Apa yang ngejek itu nggak punya malu sama si empunya? Bagaimana sakitnya si mego mendung mendengar ucapan krik krik krik orang itu yang bahkan tak lebih baik dari ngerik-nya si gulo gosong?

Memang, manusia ini serakah. Istilah-istilah dalam dunia perjangkrikan pun diembat. Mungkin para jangkrik masih memaklumi. Asalkan jangan digunakan di luar batas, seperti: "Jangkrik! Kue korupsi pirang triliun (Jangkrik!J kamu korupsi berapa triliun)!" Jangan. Itu terlalu sopan. Kasian jangkriknya. Malu disandingkan dengan koruptor.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline