Lihat ke Halaman Asli

Pendeta Theo Suangburaro, Peletak Kesadaraan Kebangsaan di Tanah Papua

Diperbarui: 11 Januari 2019   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya." [Ir. Soekarno, Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961]" 

Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau disingkat "Jasmerah" adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Ir. Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966.

Mungkin ini kata bijak sang proklamator bangsa yang tepat atas perjumpaan bersejarah antara Pendeta Theo Suangburaro (80) dengan IR. SOEKARNO Presiden pertama RI saat melakukan kunjungan ke tanah Papua.

Pendeta Theo adalah salah seorang pendeta yang sudah emeritus (pensiun) dari tugas kependetaannya. Usianya sudah lanjut, namun ingatannya tentang bagaimana sentuhan kebangsaan di tanah Papua begitu mendalam.

Dalam tuturannya, perjumpaan pertama dengan Ir. Soekarno, Presiden pertama RI, pada 1963, adalah sebuah bentuk sentuhan kebangsaan yang bermakna historik bagi pemaknaan keindonesiaan di tanah Papua.

Tahun-tahun itu adalah tahun-tahun dalam perjuangan Republik Indonesia mengakhiri kolonialisasi Belanda di Papua.

Seperti diketahui bahwa sesuai dengan Resolusi Sidang Umum PBB No. 2504 (XXIV), 19 November 1969, baru Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Dalam perjumpaan dengan Ir. Soekarno, ia dapat disebut sebagai salah seorang yang memelopori proses sosialisasi paham-paham kebangsaan Indonesia di tanah Papua. Tujuannya adalah penyatuan Papua ke dalam Republik Indonesia.

Dari rekaman perjalanan perjuangan penyatuan Papua ke dalam Republik Indonesia, dapat dikatakan bahwa tahun-tahun perjumpaan dengan Presiden Soekarno itu mengukuhkan dirinya, bersama para pendeta lainnya sebagai tokoh-tokoh kunci yang berperan dalam usaha membangun kesadaran kebangsaan Indonesia di kalangan masyarakat Papua yang turut menyatakan pendapat untuk bergabung dengan Indonesia pada 1969 itu.

Namanya memang tidak disebut dalam lembar sejarah penyatuan tersebut. Tetapi sejarah tidak bisa menyangkali peran tokoh-tokoh seperti Pendeta Theo, karena sejarah kita masih didominasi oleh paradigma struktural sehingga terkesan menceritakan peran tokoh-tokoh yang telah punya nama dan peran strategis di level pengambilan keputusan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline