Beberapa tahun terakhir dengan maraknya sosial media, kebiasaan memotret tidak lepas dari kegiatan hampir seluruh lapisan masyarakat. Dulu saya tidak memahami fenomena ini. Saya kira kegiatan ini negatif. Memotret makanan lalu dibagikan di linimasa. Membuat iri orang saja. Sekarang saya mulai mencerna ada pesan positif dibalik itu.
Bagaimana tidak, dengan membagi seperti itu, ada promo untuk yang punya resto. Efeknya pada kegiatan ekonomi. Karyawan resto bekerja. Petani dan peternak meraup keuntungan. Lalu bagaimana menghasilkan foto makanan agar orang tertarik untuk menikmati?
Saptu 10 Oktober 2015, bertempat di Tamkul atau Taman Kuliner the Spring jalan Otista Raya Ciputat Tanggerang saya belajar memotret makanan bersama Kampret (Kompasianer Hobi Jepret) dan KPK (Kompasianer Penggila Kuliner). Saya memperoleh info acara di Facebook Kampret dan menyelesurinya di Kampret Jebul. Lokasi sekitar Lebak Bulus dan UIN Syarif Hidayatullah. Tamkul ini biasanya buka mulai 4 sore hingga 12 malam. Waktu saya kemaren bertandang pukul 11 sudah ada yang buka. Pas makan siang juga sudah ramai.
[caption caption="Tamkul The Spring"][/caption]
Sebelum acara dimulai saya sempat pesan makanan. Mulai foto-foto ingin membandingan setelah belajar dan sebelumnya. Kalau tidak ada perubahan berarti kurang latihan. Guru foto dalam acara ini adalah Widianto Didiet. Dengan gaya yang santai dan kocak, belajar teori dan praktek tidak terasa. Padahal waktu belajar cukup lama.
Makanan adalah segala sesuatu yang dimakan oleh manusia. Sebelum memfoto perlu diketahui foto untuk apa? Keperluan pribadi atau untuk promosi restoran, menu, billboard, banner. Dengan demikian alat yang digunakan pun menyesuaikan. Untuk keperluan profesional tentu dibutuhkan DSLR lighting profesional (lampu, pemantul cahaya). Sedang untuk diri sendiri misal blog, sosial media, bisa menggunakan HP. Piranti yang tidak pernah lepas dari pengguna. Kenali alat-alat tersebut. Tajamnya seberapa, cahaya, dan yang penting tidak boleh goyang.
Bila ingin memfoto sedang kondisi sedang kurang pencahayaan bisa gunakan lampu senter kecil yang banyak lampunya. Lebih bagus meletakkan sumber cahaya tersebut dari samping, bukan dari depan agar terlihat natural. Bagi blogger penggila kuliner penting bawa sinter kemana-mana.
Selain itu perhatikan karakter makanan. Seharusnya terlihat seperti apa? Berminyak, pedas, gurih, atau manis. Bentuk,tekstur, cita rasa, cara penyajian, cara menyantapnya dan warna. Berkait dengan warna saya memfoto gulali. Kebiasan saya menggunakan AWB. Ternyata itu berpengaruh pada warna alaminya. Saya bingung bisa terjadi demikian. Sebelum tidak pernah memperhatikan warna asli obyek. Didiet memberi tahu, AWB itu mengikuti suhu dan cahaya. Ketika suasana gelap kamera berlebih memberi warna putih. Jadilah hasil foto kedua saya lebih muda warnanya. Jadi sebaiknya apabila cerah gunakan daylight bila mendung cloudy
Foto tekstur dari makanan bisa menggugah selera makan Misalnya ingin memotret telur asin. Akan lebih menarik apabila dibelah. Foto menjadi informatif dan detil. Untuk mengetahui karakter makanan kalau diijinkan datangi dapur dan perhatikan chef memasak. Tanyakan juga cara penyajiannya seperti apa? Prinsipnya kenali, rasakan dan cintai makanan tersebut.
Penyajian makanan tidak lepas dari aksesori penunjang. Misalnya piring, sendok, garpu, pisau. Jangan sampai salah, foto steak alat penunjangnya sendok. Warna komplemen berpengaruh pada pesan yang ingin disampaikan lewat foto. Piring putih lebih elegan. Piring merah muda digunakan untuk keperluan khusus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H