Lihat ke Halaman Asli

Zakya Edifia Aulida

Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga

Mengapa Kita Cenderung Menggeneralisasi Suatu Tokoh Publik?

Diperbarui: 9 Juni 2024   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebagai penikmat media sosial, banyak sekali berbagai informasi yang berdatangan. Kita akan terus merasa lapar dengan variasi hidangan berupa informasi yang secara terus-menerus terlontarkan pada diri kita. Lambat laun gawai yang dulu tidak terlalu kita kenal menjadi sahabat terbaik yang senantiasa menemani. Kedekatan kita terhadap media sosial mempengaruhi bagaimana kita berperilaku di dalamnya. Adanya pengaruh dari berbagai kepribadian membuat kita belajar untuk beradaptasi bagaimana media sosial bekerja, sehingga ada kalanya kita, dengan penikmat media sosial lainnya, memiliki pemikiran yang sama terhadap sesuatu, apalagi terhadap tokoh publik terkenal atau yang sedang viral di kala itu.

Sekarang kita menilai seseorang dari apa yang membuatnya viral. Karena, ketika ada hal yang menonjol hingga menyita banyak mata, kita baru belajar untuk mengetahui orang tersebut. Yang awalnya dimulai dari satu komentar yang tidak banyak dipandang, semakin bertambahnya waktu pendapat tersebut menyebar layaknya hivemind hingga mayoritas setuju dengan hal itu. Dan dengan adanya pengaruh dari kelompok mayoritas pandangan terhadap tokoh yang semulanya tidak terlalu diperhatikan berubah menjadi fenomena yang banyak diperbincangkan. Namun, mengapa dalam menilai suatu karakter tokoh, kita selalu menekankan satu poin utama untuk tokoh tersebut? Sedangkan karakter atau kepribadian seseorang itu luas dan tidak dapat dinilai dari satu sisi.

Sebagai manusia kita akan cenderung untuk memilih jalan yang lebih mulus dan lurus dibandingkan jalan yang berkelok-kelok dan bercabang. Mindset kita yang selalu mengarahkan mana yang lebih sederhana terus mengarahkan pada pemikiran dengan jalan keluar yang lebih mudah. Pemikiran disebut dengan cognitive miser dan naluriah untuk dimiliki oleh manusia. Maka, ada pepatah yang menyebut “kalau ada yang mudah kenapa milih yang sulit?” yang sangat dekat dengan kita. Lalu, bagaimana mindset untuk memilih kesederhanaan dan kemudahan ini mengarahkan pada bagaimana kita menilai orang lain?

Menurut Solomon Asch (1946) dalam penelitiannya mengenai pembentukan kesan dari suatu kepribadian, pembentukan karakteristik atau ciri-ciri seseorang akan dibagi menjadi 2 bagian yakni central trait dan peripheral trait. Dan kita akan memfokuskan penilaian kita terhadap central trait tersebut, karena central trait ini lah yang merupakan inti (poin yang difokuskan) dari peripheral trait. Jadi, sifat-sifat turunan ini (peripheral trait) dinilai tidak terlalu berpengaruh pada pembentukan kesan. Penerapan ini banyak sekali tercerminkan di kehidupan sehari-hari, apalagi di media sosial yang hanya bisa dilihat dari satu sisi. Kemudian, Asch menambahkan bahwa kesan pertama atau terakhir serta kesan negatif memiliki peran yang besar untuk menentukan kesan secara keseluruhan terhadap seseorang. Karena dari adanya kesan-kesan tersebut menciptakan bias dari diri kita.

Bias ini tidak bisa dihilangkan begitu saja, dan mau tidak mau kita akan memiliki bias ketika berinteraksi dengan orang lain. Mengenai kesan pertama, dari kita banyak mendengar tentang cinta pandangan pertama, nah hal ini adalah contoh dari bagaimana kesan pertama itu sangat berpengaruh dalam membentuk kesan pada orang lain. Kemudian pengaruh kesan terakhir atau yang terbaru ini banyak sekali terjadi di media sosial, yakni dari konten ataupun kasus yang viral. Bukan hal yang asing lagi kalau ada sebuah kasus yang viral berbagai macam ketikan netizen akan bermunculan, apalagi jika kasus itu dikonotasikan negatif, netizen bisa semakin liar dalam berkomentar. Kita akan cenderung untuk tertarik pada suatu kasus yang negatif daripada kejadian yang adem ayem, karena ya kita suka drama atau sensasi dari kasus tersebut. Kemudian dari sifat negatif yang menonjol itulah yang kita jadikan sebagai highlight dari suatu kasus yang akhirnya pandangan tersebut tersebar ke orang lain.

Jadi, sebenarnya sikap ini itu baik atau tidak? Jika ditanya seperti itu, sikap ini tidak bersifat baik atau buruk karena semua itu tergantung pada subjektivitas masing-masing orang. Namun, adakalanya sikap generalisasi ini sampai berlebihan dan menyudutkan tokoh tersebut pada satu sifat atau karakteristik. Nah, tentu kalau sampai ini terjadi akan merugikan tokoh tersebut karena merusak citra-nya dan tidak menghiraukan poin-poin yang dimiliki olehnya. Tidak jarang kita akan melihat tokoh yang mengalami mischaracterization. karena penekanan pandangan kita yang akhirnya memudarkan karakter dia yang sebenarnya.

Semua orang punya kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan keburukan, tidak semua yang di dunia ini hitam dan putih, tapi juga abu-abu. Jika kita hanya melihat dari satu sisi, alangkah baiknya kita juga menilai dari sisi yang lain, sehingga kita bisa mendapatkan gambaran akan suatu tokoh atau suatu kasus secara menyeluruh dan dapat memberikan kesimpulan yang lebih objektif. Media sosial menjadi sarang akan informasi dan pendapat, belum tentu yang bertebaran disana merupakan informasi yang baik, apalagi karena yang namanya pendapat akan bersifat subjektif. Kita sebagai penikmat media sosial harus lebih berhati-hati dan cerdas dalam berperan di dalamnya. Dengan adanya kemauan untuk mencari informasi yang akurat, menelaah berbagai informasi yang didapat, serta kritis dalam mencernanya kita bisa membuat media sosial menjadi lebih sehat untuk ditempati. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline