Oleh
Muh. Salman Darwis., S.H., M.H.Li[1]
Rakyat Indonesia kini terpolarisasi pada proses mendukung dan menolak revisi UU KPK. Rasionalitas dukungan dan penolakan itu dikontruksikan/dibangun dengan beragam argumentasi yang meneguhkan pendukungan dan penolakan tersebut. Menghadapi fakta demikian, kita (rakyat Indonesia) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara (Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945) harus berfikir jernih agar tidak ikut dalam polarisasi dukungan tersebut.
Pertanyaannya kemudian, apakah KPK sebagai lembaga negara independen yang diamanahkan oleh Undang-Undang untuk memberantas dan mencegah tindak pidana korupsi perlu dibatasi kewenangannya melalui proses revisi UU KPK di parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat). Untuk menjawab pertanyaan itu, izinkan saya memberikan batasan atau cakupan yang kiranya dapat dijadikan opsi rujukan lanjutan bagi kita semua dalam memahami persoalan ini.
Pertama, harus dipahami sejarah (historis) pembentukan KPK didasari suasasana kebatinan yang emosional/kemarahan publik terhadap warisan prilaku koruptif yang ditinggalkan oleh rezim kekuasaan Orde Baru di bawah kepempinan Presiden Soeharto. Oleh karena itu, dapat dimaklumi mengapa pembentukan KPK dilekatkan kewenangan sebegitu kuat (super power).
Kedua, harus juga dipertimbangkan masih kah relevan mempertahankan kewenangan KPK yang sebegitu kuat itu. Bukan kah konstitusi (UUD NRI 1945) memberikan cakupan kekuasaan itu harus dilandasi dan diterapkan sejalan dengan mekanisme cheks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi). Selain itu, sejarah telah mengajarkan kita bahwa lembaga/kekuasaan yang terlalu kuat (absolut) cenderung menyalahkan gunakan kekuasaan tersebut.
Ketiga, apakah proses revisi UU KPK harus selalu dipersepsikan melemahkan KPK atau malah mungkin sebaliknya semakin memperkuat kelembagaan KPK itu sendiri. Jadi pada posisi ini, kita seyogyanya proporsional dalam memberikan penilaian dan tidak boleh memaknai negatif (buruk) segala upaya merevisi UU KPK.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka patutlah kita lebih kritis dan berpandangan berkemajuan (progresif) dalam membingkai persoalan revisi UU KPK. Kita tidak boleh hanya sekedar ikut (follower) dalam rangkain polarisasi pro dan kontra revisi UU KPK. Akan tetapi harus melihat persoalan ini secara komprehensip (menyeluruh), sehingga kita sampai pada kesimpulan akhir, apakah layak atau tidak layak UU KPK di revisi.
Saat ini, bergantung kepada anda/publik (pemegang kedaulatan tertinggi negara) untuk memutuskan, apakah mendukung atau menolak revisi UU KPK.
[1] Peneliti di Sidin Constitution