Lihat ke Halaman Asli

Belajar Dari Tragedi Jatuhnya Air Asia QZ8501

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dipenghujung tahun 2014 tepat di hari Minggu tanggal 28 Desember 2014, Indonesia kembali dirundung duka yang memilukan. Pesawat Air Asia QZ8501 yang mengangkut penumpang 155 orang dengan rute penerbangan Surabaya-Singapura, hilang kontak sekitar pukul 06.18 WIB pagi dalam perjalanannya menuju Singapura. Kuat dugaan faktor utama yang menyebabkan hilang kontaknya pesawat Air Asia QZ8501 tersebut, diakibatkan cuaca yang memburuk di atas Selat Karimata. Hal tersebut didukung penyataan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang merilis data cuaca pada hari itu, mendapati awan cumulonimbus yang menjulang tinggi hingga 40 ribu kaki di atas Selat Karimata.

Faktor memburuk cuaca pada hari itu juga dapat diungkap dari komunikasi antara Kapten Irianto yang menerbangkan Pesawat Air Asia QZ8501 dengan pihak Air Traffic Control (ATC) Bandara Soekarno-Hatta. Dimana sesaat sebelum pesawat dinyatakan hilang kontak, pilot pesawat AirAsia QZ8501 meminta naik ketinggianke ketinggian 38 ribu kaki untuk menghindari awan ke arah kiri.

Pasca dinyatakan hilang kontak, Basarnas (Badan Search and Rescue Nasional) yang dibantu oleh negara-negara sahabat (Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Korea Selatan, Australia, dan Jepang), melaksanakan operasi besar-besaran guna menemukan lokasi jatuh/hilang kontaknya pesawat Air Asia QZ850. Kemudian setelah 3 hari operasi pencarian, akhirnya lokasi jatuhnya pesawat Air Asia QZ850 dengan nomor registrasi PK-AXC ditemukan.

Fokus Evakuasi Korban

Kinerja Basarnas dan tim gabungan patut diapresiasi, apalagi proses pencarian bangkai pesawat dan evakuasi jenazah korban senantiasa dihadang buruknya cuaca di lokasi pencarian. Namun demikian, di luar kinerja yang maksimal dan luar biasa dari jajaran tim Search and Rescue gabungan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicermati dan dievaluasi guna mengoptimalkan operasi search and rescue. Pertama penyampaian informasi terkait kemajuan, hambatan, dan temuan yang dihimpun Basarnas dan tim gabungan tidak terpusat melalui Basarnas Pusat (satu pintu), akibatnya masyarakat, tekhusus pihak keluarga korban merasa kebingungan atas banyaknya pemberitaan yang simpang siur. Kedua media elektronik cenderung berlebihan dalam mengeploitasi/mengemas berita jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501. Mengatasnamakan kepentingan/hak publik atas informasi, media elektronik melampaui batas-batas jurnalistik dan mengabaikan keadaan/kondisi psikologis keluarga korban. Oleh karena itu, tidaklah salah apabila media asing menyebutkan bahwa media di Indonesia brutal dalam mengemas pemberitaan jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501. Ketiga para pihak terkait (pemerintah, otoritas bandara, dan maskapai penerbangan) terlibat drama saling menyalahkan dan menuding.Sungguh sangat disayangkan, pada saat proses evakuasi jenazah dan pencarian black box tengah berlangsung, para pihak terkait malah terlibat drama saling menuding dan manyalahkan. Tidak bermaksud mengecilkan persoalan-persoalandi luar proses evakuasi korban, namun kepentingan evakuasi harus diutamakan dan diprioritaskan.

Pada saat sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mencari pihak yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501. Akan lebih bijak, apabila pihak-pihak terkait mengerahkan seluruh pikiran, tenaga, serta segala sumber daya yang dimiliki untuk mengevakuasi jenazah korban, mengindentifikasi korban, mendampingi keluarga korban dan menemukan black box pesawat Air Asia QZ8501.Setelah rangkain tersebut telah rampung dan black box ditemukan, baru kemudian kita mencari penyebab/faktor utama yang mengakibatkan jatuhnya pesawat tersebut, bukan untuk mencari pihak/siapa yang patut dipersalahkan atas peristiwa ini, melainkan untuk mencari pembelajaran bersama agar kejadian serupa tidak terulang kembali dimasa mendatang.

Problem pengawasan

Seperti diketahui Kementerian Perhubungan menjatuhkan sanksi kepada lima maskapai penerbangan (Garuda Indonesia, Lion Air, Wings Air, Trans Nusa, danSusi Air), karena melanggar izin penerbangan. Atas sanksi tersebut, kementrian perhubungan membekukan 61 penerbangan oleh maskapai penerbangan (jumpa pers Kementerian Perhubungan, Jumat 9/1/2014). Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyatakan jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh maskapai itu meliputi: Garuda Indonesia ada 4 (pelanggaran), Lion Air ada 35, Wings Air ada 18, Trans Nusa ada 1, dan Susi Air ada 3. Celakanya belakangan Kementerian Perhubungan menganulir keputusannya yang menyatakan Garuda Indonesia dan TransNusa Aviation Mandiri mengoperasikan penerbangan tanpa izin.

Fakta di atas menunjukkan bahwa kementrian perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan otoritas penerbangan sebagai institusi yang diberikan amanah oleh Undang-Undang sebagai regulator serta melaksanakan pangawasan terhadap lalu lintas penerbangan, tenyata lalai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya tersebut. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan otoritas penerbangan diwajibkan untuk sesegera mungkin mengevaluasi kinerja jajarannya dan bagaimanapun caranya harus memperbaiki/memaksimalkan mekanisme pengawasan, sehingga setiap potensi tindakan pelanggaran regulasi penerbangan dapat diminimalisir dan keselamatan penerbangan dapat terjamin.

Ke depan direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan otoritas penerbangan perlu di dorong mengedepankanpengawasan yang bersifat preventif (penanggulangan), kita tidak boleh hanya mengedepankan pengawasan yang bersifat refresif (penghukuman) dengan menggunakan pendekatan begitu ada persoalan kemudian dilakukan penindakan yang bersifat refresif. Hal ini menunjukkan seolah pihak-pihak terkait tidak mampu memprediksi/mengabaikan kemungkinan terburuk dari lemahnya pengawasan terhadap regulasi penerbangan. Ke depan apapun alasannya kejadian jatuhnya pesawat sebagai akibat lemahnya pengawasan yang dilaksanakan oleh kementrian perhubungan melalui direktorat jenderal Perhubungan Udara dan otoritas bandar udara tidak boleh terulang kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline