Di dalam kehidupan kita mesti tidak luput dari jasa-jasa para tokoh, maka dari itu mari bersama kita mengenang dan berbangga karena karya2 mereka telah mengharumkan nama bangsa ..
14 November 1905 - 2 Januari 1968 telah lahir seorang yang jenius beliau adalah Sanusi Pane seorang penulis, jurnalis, dan sejarawan Indonesia. Beliau sangat aktif di media sastra, duduk di dewan editorial beberapa publikasi. Beliau juga disebut-sebut sebagai dramawan terpenting sebelum Revolusi Nasional Indonesia.
BIOGRAFI
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, Hindia Belanda, pada 14 November 1905 dari sebuah keluarga Muslim. Beliau memulai pendidikannya di dua sekolah dasar di Sibolga, sebelum melanjutkan ke sekolah menengah pertama, pertama di Padang, kemudian di Batavia (sekarang Jakarta). Selama di Jakarta, Sanusi Pane menerbitkan puisi pertamanya yang berjudul "Tanah Air" di majalah Jong Soematra.
Setelah lulus di tahun 1922, beliau masuk Sekolah Tinggi Guru Gunung Sari sampai tahun 1925. Setelah lulus, beliau mengajar di perguruan tinggi selama beberapa tahun dan mengambil satu tahun untuk belajar hukum.
Pada tahun 1929, Sanusi Pane pindah ke India, beliau menghabiskan satu tahun mempelajari budaya India. Sesaat kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1930, Sanusi Pane menjadi staf redaksi majalah Timboel sekaligus guru. Pada tahun 1933, adik laki-lakinya Armijn memintanya untuk mengerjakan majalah sastra baru berjudul Poedjangga Baroe. Pada tahun 1934 beliau dipecat sebagai guru karena keanggotaannya di Partai Nasional Indonesia.
Setelah itu, Sanusi Pane terus aktif di bidang sastra, menjadi editor di Kebangoenan milik Tionghoa (1936--1941) bersama Mohammad Yamin. Bersama Armijn, Adam Malik, dan Sumanang. Pada 13 Desember 1937 beliau mendirikan kantor berita Antara.
Setelah kemerdekaan, Antara menjadi kantor berita resmi Indonesia dari tahun 1941 hingga 1942. Sanusi Pane menyunting majalah Indonesia yang diterbitkan oleh penerbit milik negara Balai Pustaka.
Selama bekerja di Balai Pustaka, beliau menolak tunjangan karyawan seperti beras gratis dan jasa antar jemput, malah memilih berjalan kaki ke tempat kerja dan membeli beras sendiri.
Setelah Jepang menginvasi Hindia, Sanusi Pane menjadi kepala Kantor Pusat Kebudayaan.
Sanusi Pane meninggal di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1968. Sebelum meninggal, beliau meminta agar jenazahnya dirawat dengan cara Hindu. Namun, keluarganya tidak mengabulkan permintaan tersebut karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.