Pagi itu aku dibangunkan oleh desiran ombak laut yang lembut menyapa. Kini kapalku berlayar dengan tenang mengikuti ombak yang mengarah ke negeri Paman Sam. Desiran angin pagi yang lemah gemulai kurasakan dari jendela kamarku. Birunya langit yang cerah pun seolah-olah hendak membawaku pada kebahagiaan. Ternyata keputusanku untuk memilih berlibur dengan kapal pesiar adalah keputusan terbaik. Aku sengaja untuk berlibur dengan kapal pesiar. Meninggalkan segala hiruk pikuk yang selalu membuatku menyesali keputusanku di masa lalu.
Menikah dengan seorang pria hidung belang yang kukira adalah keputusan terbaik dalam hidupku, ternyata justru menjadi keputusan terburuk dalam hidupku. Mungkin jika kutuangkan kisah rumah tanggaku dengan suamiku, Chris, akan setebal seribu halaman bahkan lebih. Aku pun tak tahu mengapa keputusan ini yang kuambil di masa lampau. Namun yang jelas Chris saat masih pacaran denganku dulu berbeda drastis dengan Chris sesaat setelah menikah denganku. Dia yang dulu adalah orang yang romantis, perhatian, lemah lembut perkataannya, berubah menjadi seorang yang pemarah, keras kepala, egois, dan ingin menang sendiri. Chris selalu menganggap yang kulakukan di rumah adalah hal yang salah bahkan hal sekecil menata rumah. Ketika yang kulakukan tidak sesuai dengan yang dia mau, caci maki, umpatan, bahkan membantingku adalah hal yang akan dilakukannya. Entah berapa kali aku diperlakukan bak sampah olehnya.
Pernah sekali waktu aku kembali ke rumah dan melihat kondisi rumahku bak kapal pecah. Aku pun berinisiatif untuk menata kembali dan membersihkan rumahku itu menurut seleraku. Rumah itu kutata dan bersihkan sedemikian rupa menurut kemauanku sehingga harapanku ketika Chris kembali ia akan merasa nyaman dengan kondisi rumah yang rapi dan bersih. Ketika Chris kembali ke rumah, aku pun menyambutnya.
"Siapakah yang membantumu membersihkan rumah ini? Apakah Giselle datang kemari untuk membantumu menata rumah ini?"
Giselle adalah tetangga rumah kami. Seketika hatiku hancur dan remuk saat mendengar perkataan Chris itu. Namun mengapa ia selalu meremehkan pekerjaan yang telah kuperbuat di rumah ini? Bahkan hal sekecil menata dan membersihkan rumah ini pun ia tidak percaya denganku.
"Mengapa kau berkata begitu? Tidak percayakah kau dengan istrimu sendiri untuk mengurus rumah ini?" jawabku sambil menangis.
"Aku bukan tak percaya, Rin. Aku bertanya apakah ada seseorang yang menyuruhmu untuk membersihkan dan menata rumah ini dengan begitu bagusnya. Tak usah kau menangis bak anak kecil seperti itu!" bantahnya.
Untuk kesekian kalinya aku menangis sebab perkataan Chris kepadaku. Bukan hanya sekali ini dia membentak dan memperlakukanku seperti ini. Aku pun segera pergi ke kamar tanpa menjawab perkataannya. Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca buku. Pikiranku tak dapat tenang sebab perkataan dan perlakuan Chris kepadaku selalu terlintas dalam pikiran. Tiba-tiba Chris datang dan membuka pintu kamar dengan kerasnya.
"Apakah kau tidak bisa menghargaiku? Begitukah sikapmu terhadap suamimu sendiri?" katanya dengan nada tinggi.
Aku pun hanya bisa terdiam. Tak sepatah kata pun terucap dari mulutku waktu itu. Aku acuh dengan perkataan kerasnya yang kesekian kalinya membuat hatiku hancur.
Mengingat kembali pengalaman itu membuat air mata membasahi pipiku untuk kesekian kalinya. Aku pun segera pergi ke kamar mandi, membasuh mukaku dan segera berganti pakaian untuk turun ke dek bawah karena sudah waktunya sarapan.
Sesampainya di dek bawah, temanku, Carlos, sudah datang lebih awal bersama dengan istrinya, Christine.
"Kemarilah, Rin. Bergabunglah dengan kami."
"Sebentar, aku ambil sarapanku dulu." ujarku
Aku segera mengambil sarapan yang telah disediakan dan segera menghampiri Carlos dan Christine.
"Mengapa kau begitu lambat untuk turun dan sarapan?" tanya Christine padaku.
Sejenak aku terdiam sembari menghabiskan makanan di mulutku.
"Semalam aku tidur terlalu larut. Sebab itu aku lambat untuk turun pagi ini." jawabku padanya. Aku tak bisa berkata jujur kepada mereka tentang apa yang terjadi padaku pagi ini.
Sembari menghabiskan sarapanku kami pun bercakap-cakap. Ketika di tengah perbincangan seseorang dengan pakaian rapi dari dek atas dan berbincang dengan Dokter Frans. Aku pun sejenak melihatnya.
"Siapakah orang itu?" tanyaku pada mereka.