Gunung Rinjani 3726 mdpl.
Daerah-daerah di Indonesia maupun di luar negri pasti memiliki ikon yang bernilai jual. Baik ikon bentang alam maupun budayanya. BNI sebagai bank kebanggaan anak negri tentu saja selalu memperhatikan ikon-ikon tersebut. Tempat tinggal saya selama tujuh belas tahun terakhir ini adalah pulau Sumbawa. Sebuah pulau yang terletak di antara pulau Lombok (NTB) dan kepulauan Komodo (NTT). NTB sendiri memiliki dua gunung yang menjadi ikon penting. Keduanya sama-sama punya “prestasi” ledakan dahsyat yang pernah mengguncang dunia. BNI Cabang Sumbawa Besar mempunyai kegiatan olah raga rekreasi bersama nasabah. Olah raga rekreasi itu familiar disebut HASH. Apa itu hash? Dahulu tahun 1938 seorang berkebangsaan Inggris yang tinggal di Kuala Lumpur Malaysia merintis kegiatan lari di tengah padang bersama teman-temannya. Kegiatan lari yang dilakukan itu berakhir di sebuah rumah makan Cina bernama Hash House yang terletak di ujung padang. Dari Hash House itulah nama kegiatan lari lintas padang ini bermula hingga sekarang. Meski tak setenar atletik (misalnya), kegiatan ini menyebar ke seantero jagad. Kini kegiatan itu lebih bersifat olah raga rekreasi. Berjalan atau pun berlari dengan mengambil rute-rute lintas alam yang unik sambil menikmati pemandangannya. Semacam kegiatan lintas alam.
Kegiatan hash di kabupaten Sumbawa mulanya hanya diikuti oleh komunitas entrepreneur Chinese. Mereka — para pengusaha Chinese — itu sebagian merupakan nasabah BNI. Sekitar tahun 2008/2009 saat datang pemimpin baru, Pak Saiful, sebagian pegawai BNI mulai dianjurkan ikut bergabung dalam kegiatan hash. Anggota grup hash pun bertambah banyak. Seiring berkembangnya keakraban antara pegawai dan nasabah dalam grup, masukan baru juga bermunculan. Diantaranya yaitu tidak membatasi keikutsertaan masyarakat untuk ikut serta di berbagai kegiatan hash. Sejak itu mulailah berdatangan keluarga maupun teman dekat para anggota dalam berbagai kegiatan hash. Anggota baru itu datang dan pergi silih berganti. Saya mulai bergabung pada tahun 2013. Suami yang juga pegawai BNI, mengajak saya ikut bergabung. Jadwal rutin kegiatan hash Sumbawa Besar saat itu adalah hari Minggu sore dan jalan pagi tiga kali seminggu. Minggu sore grup sering memilih rute jalan makadam menyusur lembah dan bukit di dusun Semongkat Sampar. Sedangkan jadwal paginya terkadang menyusuri jalan dalam kota atau ke rute makadam lainnya di dusun Perung. Semua tempat tersebut ada di sekitar kota Sumbawa Besar. Anggota grup yang mayoritas berusia sekitar 50 tahun sangat antusias menjalani kegiatan demi kegiatan. Mereka cukup disiplin. Kesadaran akan kebutuhan kebugaran badan cukup tinggi. Terlebih aktivitas bisnis mereka masih tinggi.
Selain rutinitas tersebut, ada kegiatan besar dengan persiapan khusus seperti naik gunung atau berkunjung ke tempat yang agak jauh. Besar biaya ditanggung secara gotong-royong. Anggota grup hash Sumbawa Besar tergolong solid. Sumbawa Besar merupakan kota kabupaten yang relatif kecil. Masih tinggi karakter gotong-royong masyarakatnya. Karakter itu lebih mudah kita rasakan ketika kita pernah tinggal di kota besar. Akibatnya, ikatan anggota grup hash menjadi kuat. Nasabah, pegawai BNI maupun teman/kerabat di dalam grup berbaur dengan lancar. Nasabah senior yang telah sukses membina usaha tidak segan membagi ilmu bisnisnya. Budaya Cina mereka tularkan juga pada anggota lain. Sesekali kami di undang ke klenteng di hari raya Imlek. Duduk bersama sambil melihat dari dekat tata cara peribadatan mereka. Rasanya seperti keluarga. Bagi saya mereka seperti kakak yang membagi ilmu pada adiknya. Persamaan minat dalam petualanganlah yang merekatkan kami bagai keluarga. Seperti momen-momen ketika menerobos dusun terpencil lengkap dengan romantika tersesatnya. Juga keasyikan saat sama-sama kelelahan di tengah hutan jauh dari peradaban penduduk dan momen-momen dalam menaklukkan puncak gunung.
Ikon NTB, gunung Rinjani dan Tambora tak luput jadi sasaran kegiatan hash Sumbawa Besar. Gunung berfungsi sebagai pasak bumi, agar daratan menjadi ajeg. Tidak bergeser dengan liar di atas lautan magma yang bergelora dalam perut bumi. Gunung Rinjani memasak Pulau Lombok dan Gunung Tambora memasak Pulau Sumbawa. Pendakian ke Tambora pertama kali dilakukan grup hash bulan Mei tahun 2014. Peluncur ide pertama adalah seorang nasabah senior berusia lebih dari 50 tahun. Pak Handoyo namanya. Beliau masuk dalam kategori orang yang mewajibkan diri jalan kaki sesering mungkin. Ide penaklukan Tambora itu tentu saja diremehkan rekan sebaya beliau. Secara sontak muncul celetukan,
“Mau cari mati saja Handoyo itu.”
Tetapi ternyata hal yang dianggap mustahil itu sanggup dilakukan dengan berbekal tekad kuat. Pak Handoyo memang hanya mencapai pos 5 yang jaraknya 2,5 jam perjalanan dari puncak. Tapi itu sudah merupakan prestasi yang sangat baik untuk usia beliau dan penyakit diabetes yang dideritanya. Rekan beliau –Pak Ade—yang juga sebaya dan tidak ada penyakit diabet, mampu mencapai puncak Tambora 2851 mdpl (mdpl=meter di atas permukaan laut). Bahkan seorang peserta berusia 40-an yang tak pernah berlatih fisik pun sanggup mencapai puncak. Modalnya sebuah tekad : ingin memetik edelweiss untuk mamanya. Hanya itu tekad utamanya. Manis sekali, bukan?
Rinjani adalah sasaran kegiatan selanjutnya. Ia menjadi gunung kedua yang kami pijak di tahun yang sama. Tepatnya bulan Oktober 2014. Ketinggian 3726 mdpl membuat saya sedikit termenung. Ada sedikit keyakinan bahwa saya sanggup mencapai puncak Rinjani. Tambora bisa saya capai puncaknya, mengapa Rinjani tidak? Demikian keyakinan saya. Saya masih ingat betul cara mengatur nafas dan emosi selama pendakian Tambora lima bulan sebelumnya. Dengan keyakinan dan ingatan itu saya mengambil waktu latihan fisik hanya seminggu sebelum keberangkatan. Saat keberangkatan pun tiba. Kami memulai perjalanan darat dari kota Sumbawa Besar, dilanjutkan mengarungi Selat Alas untuk mencapai Pulau Lombok. Tiba di daratan Lombok, perjalanan dilanjutkan menuju lereng gunung yang dinamakan kawasan Sembalun. Kendaraan angkutan turun di Sembalun Lawang. Subuh di Sembalun Lawang tusukan udara dingin yang tajam mulai sedikit menggerus semangat saya. Pendakian direncanakan setelah subuh. Kendaraan bak terbuka mengantarkan sampai ke sebuah tempat sebelum gapura Taman Nasional Gunung Rinjani. Sinar matahari yang mulai hadir membuat semangat bangkit kembali. Langkah mulai ringan, diselingi lari-lari kecil, seakan siap menaklukkan puncak setinggi 3726 mdpl. Rencananya ada 14 orang di antara puluhan peserta yang akan bermalam di pos tertinggi Pelawangan Sembalun. Sepuluh diantaranya akan melakukan summit attack (istilah untuk menjejak puncak gunung). Delapan pria dan dua wanita. Selebihnya hanya sampai pos satu atau ke pos tiga lalu kembali lagi ke hotel di Sembalun. Lembah kaki Rinjani adalah sabana yang luar biasa indahnya. Pemandangan terbaik sebelum pos tiga saya suguhkan foto-fotonya di bawah ini. Jelang pukul 12.00 perjalanan mulai berat akibat tanjakan yang makin banyak.
Sabana melalui jalur Sembalun.
Sabana di jalur Sembalun.