Pemerintah mencanangkan kebijakan PPN 12% pada 1 Januari 2025. Hal ini merupakan tindak lanjut dari peningkatan PPN sebesar 11% pada tahun 2022 lalu. Bukan tanpa proses, peningkatan persentase pajak pertambahan nilai ini merupakan amanat dari Pasal 7 ayat 2 Bab 4 Undang undang Harmonisasi Perpajakan.
Dari segi historis, peningkatan persentase PPN mutlak diperlukan untuk peningkatan pendapatan negara. Hal ini merupakan kepentingan yang sangat vital mengingat besarnya dana yang harus digelontorkan pemerintah, terutama pasca pandemi covid 19. Selanjutnya adalah terkait dengan standar internasional terkait pajak pertambahan nilai (VAT) dimana OECD menyatakan bahwa besaran PPN yang optimal untuk dipungut ada dalam rentang 5%-15%.
Pada tahun 2024, PPN menyumbang Rp 742 Triliun atau sekitar 35,05% penerimaan pajak. Dengan persentase PPN 12%, pemerintah memproyeksikan peningkatan penerimaan negara pada tahun 2025. Namun, kebijakan ini merupakan pisau bermata dua yang berkemungkinan besar menurunkan daya beli masyarakat. Penelitian sebelumnya oleh Junianto et al menyatakan bahwa peningkatan 1% dalam PPN akan berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga sebesar 0,32% - 0,51%.
Kebijakan PPN 12% juga perlu dikaji ulang mengingat Indonesia dilanda deflasi berkepanjangan sejak Mei 2024. Deflasi yang awalnya berada di tingkat 0,03% terus menurun hingga 0,12% pada September 2024. Jika ditelisik kembali, deflasi merupakan fenomena dimana harga di suatu wilayah mengalami penurunan karena kurangnya jumlah uang beredar sehingga daya beli masyarakat turut menurun. Sekilas fenomena ini terlihat menguntungkan karena harga harga di pasaran cenderung lebih murah. Namun, penurunan harga berdampak pada turunnya keuntungan produsen sehingga produsen memproduksi lebih sedikit barang. Jika dibiarkan secara terus menerus, perlambatan ekonomi akan terjadi dalam waktu dekat. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan kebijakan kontraktif yang diwacanakan pemerintah dengan meningkatkan PPN sebesar 12% pada 2025.
Kebijakan publik seharusnya dibuat dengan mempertimbangkan prinsip inklusivitas dan evidence-based policy. Dalam konteks kenaikan PPN menjadi 12%, pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil, untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan mampu menjawab kebutuhan semua kalangan. Proses pembuatan kebijakan harus berbasis data yang valid, seperti analisis dampak sosial dan ekonomi yang mendalam. Hal ini penting untuk mengantisipasi potensi risiko, seperti penurunan daya beli masyarakat atau perlambatan ekonomi akibat deflasi. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan menggunakan data yang akurat, kebijakan publik tidak hanya menjadi instrumen negara, tetapi juga mencerminkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat luas.
Selain itu, kebijakan publik harus memiliki fleksibilitas untuk disesuaikan dengan dinamika ekonomi dan sosial yang berkembang. Kebijakan peningkatan PPN, misalnya, dapat dirancang dengan mekanisme peninjauan berkala untuk mengevaluasi dampaknya setelah implementasi. Dalam kondisi tertentu, seperti saat terjadi deflasi berkepanjangan, pemerintah perlu memiliki ruang untuk menyesuaikan kebijakan agar tidak memperburuk keadaan. Pendekatan yang adaptif ini tidak hanya meningkatkan efektivitas kebijakan, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kebijakan yang dirumuskan dengan cara ini akan lebih mampu menciptakan keseimbangan antara tujuan jangka pendek, seperti stabilisasi ekonomi, dan tujuan jangka panjang, seperti keberlanjutan pembangunan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H