Lihat ke Halaman Asli

Salsabila Dyan

Mahasiswa/PKN STAN

BPDPKS : Tantangan Lingkungan dan Perekonomian Sawit Indonesia

Diperbarui: 25 Oktober 2024   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Kelapa sawit adalah salah satu komoditas unggulan perkebunan Indonesia. Departemen Agrikultur Amerika Serikat (USDA) pada Oktober 2024 menyatakan bahwa Indonesia menyumbang 59% permintaan minyak kelapa sawit global dengan produksi sebesar 44 juta Metrik Ton. Sumbangan Kelapa sawit untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari pungutan ekspor mencapai Rp 15,88 triliun per Juli 2024. Hal ini menandakan bahwa kelapa sawit berkontribusi sebesar 31,3% terhadap PNBP BLU dan 4,6% terhadap PNBP nasional.  

Signifikansi kelapa sawit tidak terbatas pada ekonomi secara makro semata, tetapi juga perekonomian rumah tangga yang menaungkan hidup di bawah ekstraksinya. Tercatat 2,4 juta keluarga petani sawit bergantung pada komoditas utama ini. Selain itu, 8000 putra putri mereka juga didorong untuk berpendidikan tinggi dengan dana pengelolaan sawit.

Meskipun berdampak besar terhadap perekonomian, perkebunan sawit kerap kali dikecam terutama perihal deforestasi atau penggundulan hutan dalam skala besar. Sejak dua dekade terakhir, terdapat tiga juta hektar hutan tua dikonversi menjadi perkebunan sawit. Penelusuran lebih lanjut oleh TreeMap dan The Gecko Project mencatat adanya 53 konsesi pembukaan hutan untuk kelapa sawit dimana 20 konsesi merusak lahan gambut. Hal ini sangat disayangkan mengingat lahan gambut adalah ekosistem istimewa yang menyimpan sepertiga karbon tanah dunia atau setara dua kali lipat karbon yang dihasilkan hutan secara global. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan bahwa kerusakan lahan gambut berpotensi menyumbang emisi global sebesar 5%.

Dalam meningkatkan peran positif kelapa sawit terhadap perekonomian dan lingkungan, pemerintah mendirikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). BPDPKS sejatinya merupakan organisasi non-eselon yang bertanggung jawab kepada menteri keuangan. Tugas utama organisasi ini adalah menghimpun, mengembangkan, dan menggunakan dana perkebunan kelapa sawit untuk menunjang kemaslahatan sektor kelapa sawit Indonesia.  

Skema penghimpunan dana kelapa sawit berkaitan erat dengan aktivitas ekspor dan peran kepabeanan. Ketika eksportir menjual produk kelapa sawit atau turunannya ke luar negeri, eksportir wajib membayar bea keluar dan pungutan ekspor kepada bea cukai. Bea keluar akan didistribusikan ke dalam kas negara, sedangkan pungutan ekspor akan didistribusikan kepada BPDPKS sebagai pengelola dana perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya, BPDPKS akan mendanai program program pengembangan sumber daya manusia, riset, promosi, peremajaan perkebunan, serta peningkatan sarana prasarana kelapa sawit. 

BPDPKS memiliki peran strategis dalam mewujudkan net zero emission 2060 dengan program seperti Grant Riset Sawit dan Peremajaan Sawit Rakyat. BPDPKS mencanangkan program Grant Riset Sawit yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan pemberdayaan industri kelapa sawit dari sektor hulu sampai hilir. Total investasi program ini sebesar Rp 114,15 Miliar yang menghasilkan 243 publikasi ilmiah dan melibatkan 1202 peneliti sejak diresmikan. Selanjutnya, hasil riset dimanfaatkan untuk pengembangan industri dan program BPDPKS lainnya seperti Program Peremajaan Sawit Rakyat.

Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) bertujuan untuk memperbarui perkebunan kelapa sawit yang sudah ada dengan tanaman kelapa sawit yang lebih unggul dan berkelanjutan. Oleh karena itu, tingkat deforestasi hutan dan lahan gambut akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit baru dapat ditekan. Petani penerima PSR nantinya akan mendapat sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada panen pertama. 

Jumlah lahan perkebunan sawit tersertifikasi ISPO meningkat setiap tahunnya. Pada November 2022, sebanyak 3,65 juta hektar kebun sawit dengan produksi mencapai 22 juta ton CPO telah tersertifikasi ISPO. Diakuinya sertifikasi keberlanjutan ini di kancah internasional dapat meningkatkan citra kelapa sawit Indonesia dan posisi tawar komoditas ini di mata konsumen. 

Penerapan perkebunan berkelanjutan mampu meningkatkan volume ekspor produk kelapa sawit dan turunannya di dunia internasional. Sertifikasi ISPO sangat diperlukan sebagai legalitas terutama setelah Uni Eropa, importir minyak sawit mentah, melakukan restriksi produk kelapa sawit hasil deforestasi. Dengan adanya sertifikasi berkelanjutan ini, industri kelapa sawit Indonesia mampu berkontribusi lebih terhadap ekspor yang selanjutnya berdampak pada penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan bea keluar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline