Lihat ke Halaman Asli

Konflik Struktural di Myanmar: Indonesia, Junta Militer, dan Teori Konflik Ralf Dahrendrof

Diperbarui: 14 November 2023   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 MYANMAR

Negara Myanmar terletak di Asia Tenggara. Dengan budaya yang sangat beragam, negara ini memiliki sejarah yang kaya dan kompleks. Sebelumnya dikenal sebagai Burma, Myanmar adalah salah satu negara terbesar di wilayah itu. Yangon adalah ibu kota negara dan kota terbesar dan pusat ekonominya. Myanmar memiliki populasi yang beragam yang berasal dari berbagai kelompok etnis dan agama. Orang-orang Burma adalah kelompok etnis mayoritas, dan agama Buddha sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari orang-orangnya.

ASEAN adalah grup negara-negara Asia Tenggara yang bekerja sama untuk menciptakan perdamaian, stabilitas, dan kerjasama ekonomi. Myanmar adalah salah satu pendiri grup tersebut. Myanmar telah banyak berkontribusi pada ASEAN. Pertama, sebagai anggota ASEAN, Myanmar telah berpartisipasi dalam sejumlah forum dan pertemuan tingkat tinggi yang diadakan oleh ASEAN untuk membahas masalah regional, termasuk masalah keamanan dan ekonomi. Selain itu, Myanmar juga telah berpartisipasi dalam upaya untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di wilayah tersebut, seperti menyelesaikan konflik di perbatasan dengan Thailand. Namun, karena perkembangan politik Myanmar dan masalah hak asasi manusia, posisi Myanmar di ASEAN telah diperdebatkan..

PERPOLITIKAN MYANMAR

Myanmar selama hampir 40 tahun berada di bawah pemerintahan militer. Myanmar berada di bawah pemerintahan militer ketika Jenderal Ne Win berhasil mengkudeta pemerintahan yang berkuasa saat itu pada tahun 1962. Lalu pada tahun 1974, Myanmar mengubah konstitusi dan membentuk pemerintahan Sosialis Uni Burma yang masih dipimpin oleh Jenderal Ne Win. Pada tahun 1988, terjadi kudeta oleh pemimpin militer Jenderal Saw Maung setelah terjadi demonstrasi yang menuntut demokrasi negara. Jenderal Saw Maung juga membentuk Dewan Negara untuk Perdamaian dan Pembangunan hingga pada tahun 2010, Myanmar mengadopsi konstitusi baru dan dilakukan pemilihan umum yang dimenangkan oleh militer yang tergabung ke dalam Partai Persatuan dan Pembangunan. Namun, Pemilihan ini dianggap penuh dengan kecurangan setelah Partai NDP yang dipimpin Aung San Su Kyii tidak diizinkan untuk menjadi peserta Pemilu saat itu. Pada tahun 2015, Myanmar mengadakan pemilu yang bersejarah, yang mengakibatkan kemenangan partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Pemilu tersebut dianggap sebagai tonggak penting menuju demokratisasi Myanmar setelah puluhan tahun pemerintahan militer.

 Aung San Su Kyii terkenal sebagai pemimpin berpengaruh sekaligus kontroversial di Myanmar. Ia terkenal setelah memperoleh nobel perdamaian pada tahun 1991 setelah ia dengan gagah berani menantang pemerintahan militer yang berkuasa di Myanmar dalam rentang waktu 1962-2011. Ia juga sempat beberapa kali menjadi tahanan rumah pada masa berkuasanya pemerintahan militer. Pada masa Pemerintahan Aung San Suu Kyi, ia berupaya mengakhiri isolasi Myanmar dari komunitas internasional dan memulai reformasi politik. Mereka melepaskan tahanan politik, menghapus beberapa sanksi internasional, dan berusaha memperkuat institusi demokratis.

Pada masa pemerintahan Aung San Su Kyii, Myanmar dihadapkan pada konflik etnis yang berkelanjutan. Berbagai kelompok etnis di negara tersebut terus menghadapi ketidakstabilan, dan Aung San Suu Kyi harus berusaha menyelesaikan konflik ini untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Citra Aung San Su Kyii sebagai pemimpin Gerakan Pro Demokrasi menghadapi tuntutan tentang komitmenya dalam menjaga kestabilan negara terutama konflik yang berkaitan dengan etnis. Pemerintahan Aung San Suu Kyi juga dihadapkan pada krisis kemanusiaan yang mendalam, terutama krisis Rohingya. Pada tahun 2017, Ratusan warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh akibat represi yang dilakukan oleh kepolisian bagian Rakhine. Kekerasan militer terhadap komunitas Rohingya dibawa ke pengadilan internasional dan menghasilkan kritik terhadap Aung San Suu Kyi karena ketidakpeduliannya terhadap perlakuan etnis Rohingya. Rezim Aung San Suu Kyi dituding tidak melakukan apa pun untuk menghentikan pemerkosaan, pembunuhan, dan kemungkinan genosida. Akibat kejadian tersebut, beberapa pihak meminta agar nobel perdamaian yang diraih oleh Aung San Su Kyii dicabut imbas dari peristiwa tersebut.

KUDETA MYANMAR

Kudeta militer Myanmar pada tahun 2021 merupakan peristiwa penting dalam sejarah negara tersebut. Kudeta tersebut mengakibatkan penasihat negara yang juga memegang posisi sentral di Myanmar ditangkap oleh militer dan disembunyikan di Naypidaw.  Pada tanggal 8 November 2020, Myanmar mengadakan pemilihan umum yang merupakan pemilu kedua sejak negara tersebut mengalihkan kekuasaan dari pemerintahan militer ke pemerintahan sipil pada tahun 2011. Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu dengan kemenangan yang besar, yakni 82 persen suara seperti yang terjadi dalam pemilu sebelumnya pada tahun 2015, sedangkan Partai Persatuan dan Pembangunan (USDP) hanya memperoleh suara sebanyak 6 persen. Lalu, Militer atau Tatmadaw mengklaim bahwa pemilu tersebut penuh dengan kecurangan sehingga protes mulai dilakukan.

Setelah itu, Militer Myanmar mengeluarkan peringatan bahwa mereka akan bertindak jika dugaan kecurangan pemilu tidak diatasi. Mereka memperingatkan pemerintah sipil dan meminta Komisi Pemilihan Umum untuk menyelidiki dugaan pelanggaran pemilu. Dikabarkan bahwa Tatmada telah mengerahkan tank dan kendaraan lapis baja pada 29 Januari 2021 di Burma. Pada tanggal 1 Februari 2021, militer Myanmar melakukan kudeta dengan menangkap Aung San Suu Kyi dan sejumlah pejabat pemerintahan lainnya. Internet negara dipalorkan terputus sejak pukul 03.00 pagi. Kudeta ini dilakukan sambil mengumumkan keadaan darurat nasional dan menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima militer Myanmar. Selama kudeta, banyak pemimpin sipil, termasuk Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, menteri-menteri, dan anggota parlemen, ditahan dan ditempatkan di bawah tahanan rumah atau penahanan.

Masyarakat Myanmar langsung menanggapi kudeta dengan mengadakan protes dan demonstrasi massal untuk menuntut pembebasan pemimpin sipil dan mengutuk kudeta. Demonstrasi ini melibatkan banyak kelompok masyarakat, termasuk aktivis pro-demokrasi, pemuda, dan pekerja. Dilaporkan bahwa demonstrasi ini menewaskan hingga 18 orang setiap harinya. Selain itu, protes besar-besaran menyebabkan kericuhan. Militer menanggapi demonstrasi dengan keras, menggunakan kekerasan, dan menangkap orang-orang yang berunjuk rasa. Laporan penggunaan peluru tajam dan kekerasan telah menyebabkan cedera dan kematian warga sipil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline