Setiap ada berita kecelakaan, apa yang Anda pikirkan saat itu? Barangkali gumam kita akan sama, "Kasihan." Cukupkah kita dengan berguman demikian? Bisa jadi masih ada tanya yang lain, masih ada komentar yang lain, lebih-lebih yang kena musibah anak tokoh atau pejabat tinggi dengan rakyat biasa, bertambah panjang cerita yang tertuang. Tapi ada yang aneh bila berita kecelakaan menyangkut pejabat tinggi, asuransi dari Jasa Raharja dengan cepat diberikan dengan hitungan tidak sampai 3 hari, coba kalau yang terkena musibah rakyat biasa dengan rakyat biasa, bisa sebulan klaim baru diberikan oleh Jasa Raharja, Anda merasa heran? Padahal tidak mengherankan bukan? Ketika saya nongkrong di Rumah Turi bersama Kompasianer dari Jakarta yang datang ke Solo Hai Hai, tiba-tiba ada telpon masuk ke HP-ku, o ternyata Kompasianer cewek dari Jakarta juga sudah berada di Solo. Belum sempat tak angkat telpon sudah putus, buru-buru saya telpon balik. "Halo apa kabar mbak Tytiek?" "Baik, kok SMS saya nggak dijawab?" "Wah belum tak buka mbak!" Begitulah penyakit saya, kadang tidak buru-buru membuka SMS yang masuk, bahkan lupa kalau dapat SMS. "Maaf mbak, ternyata ada di Solo ya? Posisi dimana?" "Saya ada di Manahan nih, nggak tahu ini jalan apa, pokoknya jalan-jalan saja!" "Oh kalo gitu langsung aja ke Rumah Turi, dekat kok,naik becak saja," "Oke lah kalau begitu," dan saya memberikan ancar-ancarnya. Ternyata.....harusnya sudah sampai kok belum nyampe juga, langsung saja saya telpon, ah rupanya kesasar ampe ke Kalitan, Istananya pak Harto (mantan Presiden RI). Daripada makin jauh, karena tukang becaknya kagak tau alamat Hotel yang bernama Rumah Turi ini, saya pun menjemputnya. Ini merupakan KOPDAR pertama saya dengan Kompasianer Tytiek, dan Rumah Turi menjadi saksi betapa kami langsung akrab, dan mbak Tytiek saya kenalkan dengan pemilik Rumah Turi serta beberapa blogger yang datang pada malam itu.
Tytiek www.kompasiana.com/tyti
TERVERIFIKASI
Mengamati, mencerna, mem... mem... mem... lalu tiduuuuur... Kompasianer sejak: 3 October 2010
Survey ke Gunungkidul
Dan mbak Tytiek saya tawari untuk ikut kami melakukan survey ke Desa Planjan Gunung Kidul dalam rangka menindaklanjuti bantuan yang akan kami berikan. Rupanya mbak Tytiek tidak menolak, walau besok ada acara ke Yogya untuk kopdar dengan teman maya yang lain, saya pun tak keberatan untuk mengantarkan ke Yogya bila mau ikut. Pagi hari kami pun berangkat menuju Gunungkidul lewat Cawas, dan di sana kami bertemu dengan rombongan dari Klaten, Semarang, Salatiga, dengan tujuan yang sama. 4 mobil rombongan kami berjalan beriringan menembus jalan berbukit dan melingkar dengan pemandangan yang menyejukkan mata, hingga tak terasa tujuan sudah sampai. Saya sungguh terharu dengan rombongan dari Salatiga yang dipimpin bapak YE Daryono, banyak anak kecil yang ikut, rupanya mereka anak-anak asuhnya yang diasramakan di Pondok Paidia, pondok apa itu pak? "Pondok paidia bukan panti asuhan atau mengadopsi anak, tetapi merupakan rumah singgah bisa juga rumah penitipan bagi anak yg mau sekolah, tanpa pandang suku agama." Ah sungguh pekerjaan yang mulia, satu lagi saya bertemu orang yang tanpa pamrih membantu kehidupan anak-anak dari berbagai pelosok tanpa banyak bekoar di media namun bertindak nyata, walau dalam kondisi yang seadanya, toh pondok tersebut cukup layak buat anak-anak tersebut. Bahkan ada anak usia PAUD, saat masuk pondok masih berusia 6 bulan karena ditinggal ibunya pergi ke ARAB SAUDI sebagai TKW, sementara bapaknya pergi entah ke mana alias MINGGAT tak bertanggungjawab!
Keterangan Foto : Sebagian anak-anak Pondok Paidia dalam mobil yang membawanya piknik setahun sekali. Foto paling kiri anak yang ikut ke pondok sejak usia 6 bulan.
Kedatangan mereka ke Gunungkidul memang mau piknik setahun sekali karena ada donatur yang baik hati membiayainya. Kami pun tak ragu-ragu untuk membagi bingkisan yang ada buat anak-anak itu.
Inilah salah satu bukti, TANPA PANDANG SUKU dan AGAMANYA, anak-anak Paidia itu ternyata dari berbagai kota, ada yang dari Pekalongan, Purwokerto, Semarang, Salatiga, dan lain sebagainya, berkumpul dalam persaudaraan untuk mengecap pendidikan yang layak. Dan mereka nampak akrab satu dengan lainnya, layaknya saudara kandung saja, layaknya bersama orang tuanya sendiri, punya rasa berbagi yang luar biasa antar anak satu dan lainnya, sungguh pemandangan yang mampu membuat haru bagi mereka yang tahu riwayatnya. Dan pak Daryono, Ibu Erna istrinya, pak Atang yang sering memberikan donasi, serta pak Purnomo yang sangat perduli memberikan berbagai solusi, mereka seperti keluarga besar yang penuh kasih tanpa harus berlebihan.
Keterangan Foto : Bu Slamet (kedua dari kiri) dan kedua anaknya.
Kiamat 12-12-12
Sebuah kecelakaan di Gunungkidul menjadi berita di beberapa koran daerah, mobil Avanza menabrak motor bermuatan bensin, tepatnya di Baron Km.2 Dusun Gumuk, Desa Karangrejek, Wonosari. Mobil dan sepeda motor ludes terbakar, kedua belah pihak mengalami luka bakar dan beritanya bisa di baca di sini. Membaca berita itu, tidak sekedar bergumam kasihan, tapi kami ingin tahu keluarga korban yang naik sepeda motor itu, sebab kami yakin korban yang dikabarkan kritis itu, pasti dari keluarga yang tidak berkecukupan. Dan ketika orang sibuk menuliskan tentang KIAMAT yang tidak terjadi pada tanggal 12-12-12, menjadi kiamat yang sesungguhnya bagi pengendara sepeda motor yang bernama Slamet itu, nyawanya tak tertolong, ia meninggal tepat pada tanggal tersebut. Selamet tetapi TIDAK SELAMAT, itulah yang terjadi. Saya dan beberapa teman akhirnya menemukan alamatnya di dusun Planjan, setelah di pandu pak Ngatimin seorang guru SD dan ketua RT di wilayah tersebut. Pak Slamet ternyata meninggalkan satu orang istri dan 2 orang anak, yang bungsu kelas 7 SMP, kakaknya yang bekerja jaga warung di Semarang terpaksa dipanggil pulang untuk membantu rumah. Semasa hidupnya pak Slamet mempunyai warung kelontong dan berjualan bensin eceran, ketika pulang kulakan bensin itulah musibah terjadi. Dan kini sang istri tidak mampu meneruskan warung sederhananya.