[caption id="attachment_170094" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shuttestock)"][/caption] Melihat geliat para pejabatmu ya tuan Presiden terpanggilku tuk tuliskan puisi ini betapa sikap mereka seperti dewa yang berdiri di atas semboyan-semboyan yang tak bisa ditawar Kan kusinggahi istanamu ya tuan Presiden kan kubawakan sebakul buah dari desa yang kupikul lewati trotoar tak ramah dengan keringat yang siap diperas sebab terik matahari begitu menyengat kotamu Di tengah protes kaum terpelajar gerombolan berseragam muncul dari pelataran istanamu bak penyamun terlatih memperkosa diriku dengan rakusnya sebakul buah ini tumpah ruah Aku bukan demontrans yang memprotes kebijaksanaan namun segerombolan srigala lapar menatapku curiga "Di manakah keadilan?" tanyaku pada mereka Aku tersungkur hilang arah gelap baik buruk dosa silih berganti mengisi samarku yang kudengar hanya suara-suara penuh belatung Tercampakku di tepi istanamu ya tuan Presiden jiwa ini tersadar mencari pijakan rohku mengembara mencari Tuhan Pulang ke desa adalah pilihan tuan Presiden aku sampaikan salam kemiskinan akan kuajak kerabatku untuk berburu mencari garudaku yang hilang di manakah kau sembunyikan tuan Presiden? 10212
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H