Lihat ke Halaman Asli

Setahun Meninggalnya WS Rendra

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat setahun sudah seorang tokoh besar di jagat kepenyairan Indonesia pergi meninggalkan berjuta kenangan. WS Rendra namanya, pria kelahiran Solo 7 November 1935 dan meninggal 6 Agustus 2009 lalu, kini banyak di berbagai wilayah pusat-pusat kesenian menggelar acara Refleksi satu tahun meninggalnya sang Dramawan fenomenal tersebut. WS Rendra meninggal seminggu setelah pelantun TAK GENDONG mendahuluinya. Barangkali mbah Surip tidak ingin sendirian di bawah pohon jengkol di pemakamannya "Padepokan Bengkel Teater" Pancoran Depok Jawa Barat, maka sang "tuan" rumah pun diajak ikut menemani. WS Rendra, Penyair, Dramawan, Aktor itu pun meninggal dunia pada Kamis, 6 Agustus 2009 pukul : 21.30 WIB di RS Mitra Keluarga Depok Jawa Barat, akibat penyakit komplikasi, pada usia 74 tahun. Tentu jagat kesenian Indonesia kehilangan putra terbaiknya dalam bidang pendidikan yang banyak menorehkan sejarah kesusasteraan yang cukup besar. Bagi Rendra unsur yang terpenting dalam sastra adalah pikiran, puisinya pun sering disebutnya pamplet. Sementara dalam pembacaan puisinya Rendra sering dengan model impresario. Kesan Rendra dalam menggarap teaternya tidak terlepas dari realisme kehidupan sehari-hari, karena beliau adalah biangnya dalam menyajikan masalah-masalah sosial ke dalam karya-karyanya. Tentu tidak sedikit untuk menyebut karya-karya Rendra yang telah dihasilkannya, antara lain dan Mastodon dan Burung Kondor, Perjuangan Suku Naga, atau legenda-legenda Yunani yang diadaptasi kembali dengan mengangkat realitas sosial Indonesia seperti karya Sopochles "Antigone", "Machbet", "Audipus Rex" dan masih banyak lagi yang dengan berani Rendra membubuhi kritikan-kritikan sosial. Tak kurang 8 penghargaan seni telah dikumpulkannya. Karya-karyanya pun sudah diterjemahkan kedalam bahasa asing, artinya karya Rendra sudah mendunia. Willibrodus Surendra Broto Rendra alias WS Rendra, pria kelahiran Solo ini sepulang dari Amerika l961 mendirikan Bengkel Teater di Yogya. Rendra yang semula beragama Katolik ini pernah menulis litani dan mazmur, serta pernah memerankan sosok Yesus dalam lakon drama "Cinta dan Luka". Namun perkawinan keduanya menimbulkan kontroversi ketika nekat menikahi muridnya sendiri RA Sitoresmi Prabuningrat dan meninggalkan agamanya untuk berpindah ke agama Islam demi poligami. Tentu saja Rendra mampu memberikan alasan yang kelihatan rohani dan bisa mendukung kehidupan perkawinan berikutnya. Ketika pengusaha Setiawan Djody sukses sebagai pengusaha besar, maka dengan tidak ragu menggandeng WS Rendra untuk berkolaborasi dalam kesenian. Maka bersama Iwan Fals, Sawung Jabo, Jockie Suryoprayoga mereka membentuk kelompok musik Kantata Takwa yang fenomenal dalam mengumpulkan penonton terbesar dalam sejarah musik Indonesia. Di sini WS Rendra memberikan puisi-puisinya untuk digubah menjadi syair-syair lagu, di antaranya "Kesaksian", "Orang-orang Kalah", "Paman Doblang", "Balada Pengangguran", "Nocturno", "Rajawali" dsb. Kedekatannya pada Setiawan Djody inilah akhirnya menghasilkan lokasi yang cukup luas untuk padepokannya di Kampung Cipayung, Depok, Jawa Barat itu. Dari situlah Padepokan Bengkel Teater berolah seni setiap hari, sekaligus terdapat pemakaman khusus seniman dan memang Rendra telah menyiapkan kuburannya sendiri .WS Rendra semasa hidupnya sering menanamkan sikap kedisiplinan dan sikap kritis, oleh sebab itulah karya-karya tak lepas dari sikap hidupnya itu. Julukannya sebagai si BURUNG MERAK tak lepas dari sikap kebutuhan untuk diperhatikan, dihargai, dipandang penting, dikagumi dan dipuji. Setiap orang selalu dengan caranya sendiri untuk berusaha mendapatkan perhatian, penghargaan dan pujian serta melakukan hal-hal yang membuat diri menjadi penting dan pantas dikagumi. Bila seseorang dalam usaha mendapatkan semua itu, seseorang sudah tidak dapat melihat lagi batas-batasnya yang wajar, ada kemungkinan dia sudah terjerat oleh mental burung Merak, alias  PEACOCK COMPLEX. Kita tahu bahwa burung Merak populer sebagai burung yang suka memamerkan bulu-bulunya yang indah dan menarik perhatian serta mendapatkan pujian. Demikianlah pada orang-orang yang terkena mental burung Merak terdapat gejala yang sama. Mereka sangat peka akan segala ucapan dan tindak pujian. Dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi mereka berusaha untuk mengumpulkan segala pujian. Dengan berbagai akal mereka berusaha keras untuk menunjukkan betapa hebat dirinya, betapa tinggi bakat yang dimiliki, betapa luar biasa prestasinya, dan betapa luas jaringan relasinya. Begitulah, kegiatannya mengarahkan seluruh kegiatan untuk mendapat sanjungan dan pujian. Seluruh tujuan hidupnya seolah-olah diperas menjadi satu, MENARIK PERHATIAN , mendapatkan pujian, menikmati sanjungan di mana saja, kapan saja, dan dari siapa saja. Namun anehnya, mereka seperti tidak mungkin dipuaskan. Tidak salah kalau WS Rendra menjuluki dirinya sendiri sebagai BURUNG MERAK, setelah bertandang ke kebun binatang Gembiraloka Jogyakarta waktu itu, kenyataannya beliau mampu menujukkan karya-karya yang mampu membuat kagum semua penikmatnya dan tak sedikit penghargaan didapatinya. baik dari dalam maupun luar negri. Pemikirannya yang sangat kritis dan jiwa nasionalismenya yang tinggi bak burung Merak yang terbang dan hinggap untuk memamerkan semua yang dimilikinya dan itu mampu memukau banyak orang hingga kini. Menulis lengkap WS Rendra tentu akan menghabiskan berlembar-lembar kertas karena memang perjuangan hidupnya dalam berkesenian cukup lama dan total sampai akhir hayatnya.

Illustrasi : bengkelsastra.net Aku mendengar suara Jerit mahluk terluka Luka..... luka Hidupnya luka Orang memanah rembulan Burung sirna sarangnya Sirna..... sirna hidup redup Alam semesta luka Banyak orang hilang nafkahnya Aku bernyanyi menjadi saksi Banyak orang di rampas haknya Aku bernyanyi menjadi saksi Mereka dihinakan tanpa daya Terbiasa hidup sangsi Orang-orang Harus dibangunkan Aku bernyanyi menjadi saksi Kenyataan harus di kabarkan Aku bernyanyi Menjadi saksi Lagu ini jeritan jiwa Hidup bersama harus dijaga Lagu ini harapan sukma Hidup yang layak harus di bela (Sajak Kesaksian yang dinyanyikan Iwan Fals).

Semoga Bermanfaat Walau Tak Sependapat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline