Sebuah tulisan memang bisa menginspirasi pembacanya untuk membuat tulisan baru, mungkin dengan cara pandang berbeda atau berlawanan, baik tulisan berupa KOMENTAR atau ARTIKEL dan itu sah saja, bahkan bisa memperkaya pembaca yang mengikutinya. Awal Januari ini saya tertarik mengikuti artikel yang ditulis MAWALU dengan judul : Kesaksian Korban yang Lolos dari Maut AirAsia QZ8501, dan saya perkirakan ini akan laris manis karena AKTUAL dan Kompasiana yang pertama kali menayangkannya, pasti akan banyak yang nge-share ke dunia maya maupun dunia nyata bahkan mungkin sampai dunia luar biasa. Tersebutlah Pepih Nugraha yang merupakan founding father Kompasiana tidak tahan juga melihat artikel Mawalu digunjingkan di FB oleh akun Sastra Wijaya dan ikut berkomentar lalu menuliskan semua perbincangan itu di Kompasiana agar pasukan Kompasianer ikut membacanya, seraya mengingatkan tentang istilah “terra incognita” alias “tanah tidak bertuan”, namun tetap memperhatikan NETIKET agar tidak bermasalah dengan hukum dan moral. Pepih Nugraha : "Mungkin ada baiknya Sastra Wijaya mengemukakan pendapat dan ketidaksetujuannya atas postingan tersebut di media setara, yakni Kompasiana, sehingga terbuka peluang si warga reporter (Mawalu) untuk memberikan pembelaan/sanggahan, bantahan." Sastra Wijay : "Apa tidak baiknya ketika saya membahas tulisan yang di link ke FB dari media Kompasiana atau media apa saja? Posisi saya memang sangat mobile hingga tidak harus ikut membahas di media dimana Mawalu mempostingnya. Tidak perlu saya menyusun puzle demi puzle dan menginvetigasi secara historikal artikel tersebut. Anda tidak perlu mengajari saya tentang NETIKET, di FB saya bisa jelaskan secara rasional menurut common sense yang mudah untuk dicerna. Lagian Kompasian sering ERROR secara eksplisit, duuuh................... ampe SPEECHLESS mau ngomong apa kalau Kompasiana sudah ERROR eh suruh nulis di sana tak u u ya......." Nararya : "Jadi menurut saudara Sastra Wijaya, kesalahan dalam tulisan itu adalah adanya “argumentasi”, lebih tepatnya implikasi, bahwa mereka yang menjadi korban dalam peristiwa naas itu “tidak terselamatkan”. Artikel Mawalu adalah artikel berisi testimoni, bukan artikel argumentatif. Jangan salah paham. Natur dari testimoni yang ditulis Mawalu itu adalah ungkapan syukur karena yang bersangkutan tidak jadi berangkat dengan pesawat naas itu. Ia memaknainya sebagai pertanda perlindungan dan kasih sayang Tuhan atas hidupnya. Kalau tidak ingin saya tuduh Anda SESAT PIKIR, mestinya tahu prinsip charity dalam berargumen. Ingat ada sebuah diktum penting dalam memaknai sebuah tulisan. Diktum ini digunakan dalam konteks genre criticism yang berbunyi, demikian: “Meaning is genre-dependent”. Sebagai reafirmasi saja, saya menganggap Anda melakukan straw man fallacy yakni melakukan misrepresentasi natur tulisan Mawalu dan menarik implikasi yang salah demi mendukung sentilannya mengenai Kompasiana." Sastra Wijay : "Nararya, Anda juga lupa kalau ada tulisan yang totally fallacious dan berpusat pada appeal to motive fallacy. Anda menuduh motive saya, itu tidak membuktikan bahwa yang saya nyatakan tentang artikel itu salah. Sesat pikir yang Anda tuduhkan itu sangat subjektif tanpa kualitas selain hanya comotan dari berbagai referensi dan istilah asing, namun saya tidak mudah tersihir secara psikologis. Tulisan Mawalu sejenis stict to the issue untuk menginduksi pembacanya dengan isyu SARA di dalamnya. To be honest, saya orang logik tapi tidak suka dengan ‘logical correctness’, jadi jangan mudah skeptik.
Elde : " Sastra Wijaya, jika KEBERATAN dengan tulisan Mawalu itu, kalau CUKUP PUNYA NYALI, beri tanggapan di fitur komentarnya, atau menulis tanggapan/tulisan tandingan, toh sudah pasti muncul di Kompasiana." Sastra Wijay : "Elde yang besar anunya, jangan sok bijak ikut-ikutan ngetop menuduhku. Elu tidak punya akun FB (entah kalau kloningannya ada) tapi sok tahu apa yang terjadi secara benar dengan persoalan yang diangkat itu. Biasakan melihat secara rasional dan kronologisnya, sebagai contoh : BODOH dan BOHONG itu jelas beda. Beda alfabet, beda makna kata, tapi Anda boleh menginterpretasikannya karena merasa punya hak. Silakan Anda merasa punya hak untuk menginterpretasikan komentar saya di FB seenak udel Anda. Saya gak terkejut kok, itu hanya membuktikan berkali-kali bahwa Anda memang bodoh. Orang tulis A, diartikan B, yang mengartikan cuma kasih liat bahwa orang itu gak ngerti sama sekali alias bodoh. Jadi tenang aja, saya GAK cabut hak Anda untuk menginterpretasikan seenak udel Anda kok (baca: hak Anda untuk tetap bodoh) bila menuduh saya TIDAK PUNYA NYALI!" Mawalu : "Bagaimana mungkin seorang wartawan senior dengan tingkat intelektual yang mumpuni sekaliber Sastra Wijaya itu bisa menarik kesimpulan bahwa tulisan itu adalah tulisan yang bermuatan SARA?" Sastra Wijay : "Ah omonganmu termasuk arguin in the cycle dan benar-benar seperti anak kecil, mewek-mewek minta perhatian dan MERASA MENANG kalau sudah menulis artikel jawaban yang isinya dodolipet semua itu. Anda mengulang-ulang gaya nulisnya seperti kehilangan kemampuan nalar alias tidak ada argumen yang substansial dan dapat memberikan pencerahan untuk dibahas, selain emosi dengan cita rasa kecerdasan yang mengkuatirkan!" Mawalu : "Heran saja aku dengan tipikal manusia model kayak kamu! Kamu orang mengkotak-kotakkan manusia Indonesia yang seutuhnya dalam keyakinan yang dianut pribadi lepas pribadi. Manusia punya subyektifitas, karena itulah kerangka spirit yang hakiki yang lebih moralis dalam persfektif subyektifitas domain pribadi, bukan orientasi kepentingan semu yang sifatnya hanya sesaat saja. Dijelaskan sampai mulut berbusa pun tetap tak akan pernah mau mengerti!" Sastra Wijay : "He he he he.......apa kamu pikir nalarmu cukup baik untuk memojokkan saya? Tidak sama sekali, hei Mawalu ente harus memultiplikasi lebih sungguh lagi untuk itu. Retorika dan diplomasimu sangat payah, aktingmu boleh juga bila menulis tapi dengan kadar bahasa aneh bin ajaib jalan terus seperti TIM HOREMU di atas itu. Intelektualismu memang harus direparasi biar lebih presisi agar bisa melihat nuansa SARA dalam setiap tulisan. Jangan mengeraskan hati dan mengedepankan ego intelektualitas yang payah itu biar tidak tumpang tindih, dan tahu mana yang relevan dan mana yang update." Stefanus Toni Aka Tante Paku : "Pak, pak, mau tanya, Anda ini Sastra Wijaya yang di FB itu atau......" Sastra Wijay : "Wah mas Toni apa kabar? Saya tuh nggak punya akun FB atau Twitter dan lain sebagainya, punyaku ya cuma di Kompasiana saja." Stefanus Toni Aka Tante Paku : "Lhah kamu kok ikutan membalas komentar para Kompasianer di atas itu?" Sastra Wijay : "Saya dari dulu itu cuma SILENT READER di sini, nggak pernah nulis artikel maupun komentar, tapi saya belajar dari semua tulisan di Kompasiana, hasilnya kan bisa mas Toni lihat dengan jawaban saya di atas itu, keren kan?" Stefanus Toni Aka Tante Paku : "Wah......memang jawaban-jawabanmu di atas penuh kontroversi hati, mestinya berkomunikasi itu memakai bahasa yang baik dan benar serta cepat dan mudah dimengerti oleh orang banyak." Sastra Wijay : "Saya sendiri ASAL TULIS mas dan nggak ngerti maksudnya ha ha ha ha ha ha..................... Stefanus Toni Aka Tante Paku : "Tapi benar namamu SASTRA WIJAYA?" Sastra Wijay : "Tidak benar walau mirip, akunku SASTRA WIJAY nama lengkapku SASTRA WIJAY KUMAT RAMARI-MARI!" Stefanus Toni Aka Tante Paku : (Gedubrak! Jatuh dari kursi sambil nelen BAUT!) Semoga bermanfaat walau tak sependapat!
Sumbr gambar : 1. simomot.com 2.aniesbaswedan.com 3. lifestyle.kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H