Lihat ke Halaman Asli

Ketika Adam Membina Cinta Bersama Hawa

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu memang tak bisa terulang untuk ke dua kalinya, jika kita terlambat roda waktu akan menggilasnya tanpa ragu. Adam memang tak punya pilihan lain untuk cinta pertamanya, bukan karena kehilangan unsur kebebasannya yang paling asasi, sebab hanya Hawa yang ada bersamanya. Tubuh yang bersinar terang itu kemudian mengenakan Adam pakaian dari kulit binatang, lalu beralih kepada Hawa yang diam terpaku dan menundukkan kepala. “Pakaian ini lebih awet daripada daun-daun yang kau kenakan itu,” kata Sang Terang yang adalah Tuhan Allah sendiri dengan Penuh Kasih. “Menjauhlah dari taman Eden ini,” lanjut  Tuhan Allah sambil berjalan masuk ke taman Eden bersama TerangNya. ***** Dengan tertunduk lesu Adam berjalan menjauhi taman Eden diikuti Hawa dari belakang. Sesekali Adam menengok ke belakang, dilihatnya taman Eden semakin menghilang ditelan kabut. Pakaian yang diberikan Adam dan Hawa hampir sama modelnya, kulit hewan utuh yang diselempangkan di pundak kanannya menjuntai ke paha. Kulit yang berbulu tebal dan cukup menghangatkan. “Aku tidak tahu bagaimana Tuhan membuatNya, ini kulit dari binatang apa ya?” tanya Adam kepada Hawa, yang kini sudah berjalan di sampingnya. “Mungkin dari kulit Keledai,” jawab Hawa sambil memegang pakaiannya. “Kenapa mesti kulit Keledai?” tanya Adam. “Iya, kalau dari kulit domba, pastilah kurang panjang untuk kita,” mendengar jawaban itu Adam mengangguk-angguk. (Barangkali maksud Tuhan, kalau itu memang dari kulit Keledai, ya memang Adam dan Hawa telah melakukan tindakan seperti Keledai. Dan keturunan Adam yang kelak di sebut Yesus akan naik Keledai pada akhir pelayanannya). “Pastilah dari kulit binatang yang cukup besar,” tuntas Adam. Adam memang tinggi besar, berkujlit bersih dengan rambut pendek agak ikal. Sementara Hawa pun berkulit halus, rambut ikal mayang terurai indah, hidung mancung, pipinya kemerahan dan bibirnya merekah basah. Sungguh cantik walau tanpa kosmetik. “Perutku lapar,” ucap Hawa memecah keheningan.

Mari kita cari buah-buahan,” lalu dengan sigap Adam meraih buah di sekitar tempat tersebut. Mereka pun tanpa ragu menyantapnya

Tiba-tiba turun rintik hujan.

“Apa ini?” tanya Adam sambil membuka kedua telapak tangannya untuk merasakan air tersebut. “Kenapa air turun dari langit?” sahut Hawa kemudian. Dan rintik pun semakin deras. Keduanya tetap terpaku sambil menengadahkan kepalanya ke langit, merasakan basah yang mengguyuri seluruh tubuhnya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Adam. “Kita harus mencari tempat agar kita tidak terkena air langit ini!” jawab Hawa sambil berlari kecil diikuti Adam. Mereka coba berteduh di bawah pohon yang berdaun lebat. Untuk sementara mengurangi curah hujan yang mengguyur.  Karena hujannya belum reda , akhirnya tembus juga ke bawah pohon itu. “Kita harus cari tempat berlindung yang lain!” ajak Adam sambil menarik lengan Hawa , berlari mencari tempat yang aman dari hujan. Tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah goa dan keduanya memasukinya. “Ah, untuk sementara kita aman,” desis Adam sambil mengusap mukanya, menyingkirkan butir-butir air yang membasah. Namun, hujan belum reda juga. Sementara hari mulai gelap. Keduanya kini mendekapkan kedua tangannya ke dada, menggigil reaksi dari dingin yang menggigit. “Aku tidak mengerti mengapa Tuhan memberikan air dari langit?  Aku tidak mengerti mengapa Tuhan memberi hari gelap?” keluh Adam di antara getar kedinginan. “Cobalah engkau minta Tuhan agar kita tidak kedinginan seperti ini,” Hawa memberi saran. Sambil menengadah di depan mulut goa, Adam memohon, “Tuhanku , Allahku, sekiranya ada yang menyembuhkan dingin kami….” Tuhan Allah masih sayang kedua manusia itu. Tiba-tiba petir menggelegar mengagetkan keduanya, menyambar potongan kayu basah di depan Adam dan menyala menjadi api. Adam pun segera mengambilnya, membawa masuk ke dalam goa, meletakkan di tanah. Lalu mereka mengumpulkan kayu-kayu yang banyak berserakan di goa tersebut. Api yang baru dikenal Adam dan Hawa, mereka memandanginya dengan takjub. “Pakaian kita yang basah ini biar kering haruskah di dekatkan api ini?” kata Adam dan tanpa menunggu jawaban Hawa, Adam pun melepaskan pakaian kulitnya. Kemudian diletakkan diatas batu besar, yang dekat api unggun itu. Hal serupa pun dilakukan Hawa. Sesudah melepas pakaiannya, keduanya mendekat ke api untuk menambah kayu, agar apinya tetap menyala ,lebih besar. Tiba-tiba ada sesuatu yang aneh pada tubuh Adam, ketika Adam memandang tubuh Hawa yang tanpa mengenakan apa-apa alias telanjang. “Hei Hawa, adakah keanehan yang kau lihat pada tubuhku?” tanya Adam sambil memandang Hawa. Hawa melihat dengan heran. “Ini kenapa belalai kecilku bergerak-gerak naik turun ketika aku memandang tubuhmu?” “Aku juga merasakan getar-getar yang aneh kurasakan pada sekujur badanku.,” jawab Hawa, masih memandang dengan heran pada belalai kecil Adam itu. Lalu Hawa secara reflek mendekati Adam, memegang belalai kecil itu. “Biarlah kupegan agar tidak bergerak,” kata Hawa menggenggam dengan erat. Tetapi justru Adam semakin menggelinjang gemetar, dag dig dug berdegup kencang menggempur dadanya. “Auh, lepaskanlah…… Aku ingin bertanya padamu,apa yang dimaksud Tuhan bahwa engkau akan mengandung,  melahirkan anak?” Hawa terdiam, ia sudah melepaskan belalai kecil Adam yang tadi digenggamnya dengan gemas. Hawa mencoba duduk, sambil tertunduk mendekap kedua lututnya , memandangi api yang menyala merah. Ia tidak bisa memberikan jawaban, namun rasa yang menggundah gulana membuat hatinya kacau balau, tanpa tahu penyebab sesungguhnya. Perasaan yang baru kali ini dirasakan, karena di taman Eden belum pernah merasakan hal semacam ini. Suatu emosi yang tak terlampiaskan tengah mencabik-cabik urat nadinya. Kenapa? Ada apa? Mengapa? Berjuta tanya memenuhi kepalanya. Sejurus kemudian, Adam mendekati Hawa, memegang kedua pundaknya, pelan, mencium rambutnya,mesra,  membelainya dengan lembut.  Remang-remang api unggun mulai membakar darah Adam. “Aku tidak tahu, kenapa Tuhan mengatakan engkau istriku.  Aku juga tidak tahu kenapa engkau akan kesakitan bila melahirkan.  Tetapi aku merasakan getar-getar yang aneh bila di dekatmu.  Ada kehangatan yang melebihi api bila menyentuhmu.  Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk meredam gejolak dada yang berdebar ini………….” Hawa menoleh, memandang Adam dengan tatapan redup mengharu biru.  Bibirnya semakin merekah, membasah.  Lalu Hawa membalikkan badannya, merangkul Adam hingga terjengkang ke tanah.

SEKIAN

Sumber gambar : 1. www.evangelizafuerte.com.mx 2. semestahidayah.wordpress.com 3. myblog.themarkusap.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline