Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen] Raungan Kematian

Diperbarui: 31 Juli 2016   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - gagak (kfk.kompas.com/Fiqman Sunandar)

“Ini bukan soal kematian saya. Toh kematian itu akan dialami semua orang. Proses kematian saya juga singkat, asyik. Saya bersyukur, bisa mati setelah bertobat. Saya juga berterima kasih sama kamu, karena melakukannya dengan hati yang bersih.” Begitu tutur Somba, kepada Herman, malam itu. Suara yang sayup-sayup, lalu perlahan terdengar jelas, sangat nyata.

“Jadi masalahnya bukan kematianku. Tuhan itu maha pengampun. Tetapi manusia tidak. Saya tersiksa. Rasanya seperti tersayat berulang kali. Irisan dan sayatan itu terus diulang sesuai seberapa sering mereka, manusia-manusia itu, mengumpat dan mengutuk perbuatanku,” curhat Somba.

Ya, Herman tahu, dari koran-koran, media sosial, dan cerita-cerita rekannya anggota intelijen. Perbuatan Mendiang Somba tak termaafkan. Dia berperan menyebar puluhan kilogram pil ekstasi, heroin, kokain, kepada ratusan bahkan ribuan orang di negeri ini.

Mereka, keluarga-keluarga korban, tentu saja sudah melempar kutukan, umpatan, dan caci maki yang banyak, kepada Somba, dan para penyebar barang narkoba itu. Mereka, para keluarga pemakai, putus asa dan kehabisan uang untuk mengobati anaknya yang sakau, hingga ikut tenggelam dalam kematian.

Herman terus menyelam dalam mimpinya. Kali ini dia berdialog dengan Sahrul. Terpidana mati yang ikut dieksekusi bersama Somba, sehari sebelumnya. “Ketahuilah, perbuatan jahat yang tidak termaafkan itu sungguh sangat menyakitkan,” tutur Sahrul. Kepada Herman, Sahrul bercerita tentang telinganya yang tidak berhenti mendengar erangan, tangisan, hingga hujatan para korbannya. Suara-suara itu seperti air sianida, yang tumpah, dan menciprat sekujur tubuhnya. Hingga seluruh kulitnya terkelupas, melepuh.

Herman terjaga dari tidurnya. Sudah pukul 04.00. Empat puluh menit lagi Subuh. Sebuah sajadah yang mengalasi badannya, dia rapikan. Ada Alquran di situ. Beberapa lembarannya kusut karena tertindih lengannya saat tertidur. Herman bersyukur bisa terlelap, setelah menghabiskan banyak waktu untuk bersujud. Dalam beberapa malam sebelumnya, matanya tidak mau terpejam.

Herman tidak tahu bagaimana Tuhan menilai pekerjaannya sebagai anggota brimob, dan eksekutor terpidana mati. Seperti halnya dia tidak tahu, apakah salat taubat dan sujud yang dia lakukan setiap usai mengeksekusi itu, diterima atau tidak oleh Tuhan.

“Kamu mimpi lagi ketemu orang mati?” tanya rekan Herman sesama eksekutor. “Aneh ya, kenapa mereka cuma curhat sama kamu. Padahal saya juga ikut menembak,” lanjut teman Herman itu. “Oh ya, kalau hantu Somba dan kawan-kawannya itu datang lagi dalam mimpimu, cobalah kau bertanya lebih banyak. Misalnya orang-orang yang terlibat, dan siapa-siapa yang jadi bandarnya,” saran rekan Herman yang lain.

Herman menghela nafas panjang. “Kamu ingatkan lagi sebentar malam,” balasnya, singkat. Salah satu pertanyaan teman Herman, juga acapkali berdecak dari dalam hatinya. Mengapa curhat arwah para pendosa itu, tervisualisasi dengan gamblang di dalam mimpinya, setiap kali usai mengeksekusi. Sudah banyak yang hinggap menjadi bunga-bunga tidur Herman. Mulai dari lima orang teroris, yang dia eksekusi enam bulan lalu, hingga pelaku pembantaian sadis yang harus ikhlas beberapa butir amunisi menerjang dan mengoyak jantungnya. Pernah juga ada arwah orang yang bukan terpidana mati, atau kenalan Herman, ikut menjadi tamu dalam mimpinya.

“Tubuhku cepat bereaksi menjadi mayat. Seperti cepatnya laju timah panasmu menembus jantungku. Deritaku saat sekarat, lebih singkat. Berbeda dengan mereka, para pengidap penyakit leukimia, kanker, atau prostat. Mereka meraung menahan perih, dan berbulan-bulan menahan derita sebelum maut itu datang. Tetapi, perbuatan baiknya telah mengangkat derita itu saat dia mati. Ketahuilah Herman, deritaku dan derita mereka tidak lebih menyakitkan… dari orang itu…” Herman terjaga. Curhat Somba kali ini belum selesai.

Herman tahu, Somba cuma distributor barang haram jadah itu. Ada yang lebih jahat dari Somba. Orang-orang yang memproduksi massal barang candu itu, atau petinggi-petinggi negara yang menyalahgunakan posisinya, membantu memuluskan jalur masuk narkoba, lalu mengeruk untung lebih besar, dan dihabiskan sendiri. Lebih banyak dari Somba. Mungkin deritanya lebih perih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline