[caption id="attachment_286097" align="aligncenter" width="449" caption="salah seorang perempuan sedang menenun, untuk mengisi harinya (dokumen pribadi/hasbizainuddin)"][/caption] SULIT menemukan kaum lelaki di kampung ini. Orang-orang menjuluknya "kampung perempuan." Ya, di kampung ini, para perempuan harus rela ditinggal suami yang melaut hingga bertahun-tahun. Karena ditinggalkan, banyak diantaranya mengisi waktu dengan menenun.
Letaknya sekira lima kilometer sebelum pantai wisata tanjung Bira. Mengunjungi Kasuso, salah satu kampung di Desa Darubiah, Kecamatan Bontobahari tersebut, saya harus melewati jalan sempit yang berliku, menanjak, dan menurun tajam di sisi tebing gunung. Jalan tersebut membelah hutan yang dirimbuni pohon-pohon tua yang besar, dan belukar semak. Ada beberapa gua yang menganga ditemukan di sisi jalan. Di kampung yang terletak di pesisir pantai tersebut, kompleks rumah warga terlihat padat. Sebagian besar adalah rumah panggung terbuat dari kayu. Kampung ini ramai oleh anak-anak, yang bermain di jalan-jalan kampung. Para perempuan banyak terlihat di beranda, kolong dan tangga rumah. Namun, sebagian besar mereka terlihat sedang mengerjakan aktivitas rutinnya: menenun kain sarung. Saya menemui Junaedah, 40 tahun, seorang istri yang ditinggal suaminya sejak 25 tahun lalu. Junaedah sudah punya tiga orang anak, dan punya beberapa cucu. Saya menemui perempuan ini saat sedang sibuk menenun kain sarung, dengan motif khas Samarinda, Sabtu 24 Agustus lalu. Dua orang anak laki-lakinya yang dewasa kini sudah menjadi anak buah kapal (ABK). "Suami pergi sejak tahun 1986. Waktu itu saya pengantin baru. Cuma tiga malam setelah menikah, dia sudah pergi melaut," tuturnya, sambil memainkan alat tenun tradisional di tangannya. Dia menuturkan, suaminya, Mahmud, 43, baru datang setelah tiga bulan kemudian. "Sekarang, dia datang setiap tahun," jelas dia. Suaminya biasanya datang lebih cepat, jika kebetulan kapalnya melintas di perairan Bulukumba. Saat ini, suami Junaedah sudah menjadi juragan Kapal kayu, dengan 13 orang ABK (Anak Buah Kapal). "Kerjanya mengangkut barang-barang, seperti semen, ke Timika, Papua, dan pulau lainnya," jelas dia. Junaedah adalah satu dari ratusan wanita di Kampung Kasuso yang ditinggal suami. Sudah menjadi kebiasaan para perempuan di kampung tersebut, untuk mengisi kesendiriannya dengan menenun. "Kecuali kalau suami datang, ya saya berhenti dulu untuk melayani suami," ucap Junaedah, sambil tersenyum. Di kampung Kasuso, jadwal pulang kampung para lelaki tidak tentu. Banyak di antara mereka pulang kampung di saat lebaran. "Banyak juga suami yang baru pulang setelah dua tahun, sampai tiga tahun lebih. Sampai ada yang anaknya sudah besar-besar dan tidak dikenali. Suami saya, dulu pergi waktu anak masih bayi. Pas pulang, sudah masuk TK," jelas salah satu perempuan lainnya, Subaeni, 29. Seperti wanita-wanita lainnya, Subaeni harus merelakan suaminya menjadi ABK (Anak Buah Kapal), untuk mendapat penghasilan, dan menyekolahkan anak. Subaeni menceritakan, tidak sedikit lelaki yang melaut, kecantol perempuan di tanah rantau, hingga menikah. "Tapi, biasanya, istrinya tetap tinggal di sana (tanah rantau, red). Tidak ada yang berani bawa pulang istri keduanya ke sini. Kecuali mereka yang memang bujang waktu pergi melaut," jelas dia. Dia menjelaskan, ada juga suami yang membawa istrinya ke tanah rantau, setelah sukses dan menjadi orang kaya. [caption id="attachment_287462" align="alignnone" width="554" caption="pemandangan pantai dengan pasir putih dan tebing gunung yang indah (dokumen pribadi)"]
[/caption] Kasuso merupakan kampung yang tidak jauh dari pelabuhan Bira, di bagian timur Bulukumba. Disebut Kasuso (suso: siput laut, red), karena banyak ditemukan siput di sana. Topografinya yang khas dengan tebing batu dan pasir putih, tak kalah menarik dengan kawasan pantai wisata Tanjung Bira. Ada beberapa tempat di kawasan tersebut, yang sering dikunjungi turis. Salah satunya adalah sebuah mata air tawar yang terletak tepat di bibir pantai, yang airnya hanya bisa diambil saat air surut. Sebab, jika air pasang, mata air tawar tersebut tertutupi air laut. Kepala Dusun Kasuso, Ahmad Nur daeng Lewa, 61 menjelaskan, jumlah penduduk di kampung tersebut mencapai seribuan orang lebih. "Tapi sebagian besar pergi merantau. Penduduk yang sekarang tinggal kebanyakan perempuan," jelas dia. Ahmad menjelaskan, meskipun kampung tersebut berpotensi untuk menjadi lokasi wisata, namun warga kampung menolak untuk dijadikan kawasan wisata. "Kampung ini sudah sering didatangi para turis. Banyak juga yang mendatangi mata air tawar itu. Selain itu, sarung hasil tenun warga juga banyak pembelinya. Satu sarung tenun harganya Rp300 hingga Rp750 ribu. Satu perempuan bisa hasilkan satu sarung dalam satu Minggu," jelas dia. Warga Kasuso adalah penganut Islam yang taat, dan mempertahankan tradisi. "Karena itu, warga tidak ingin kawasan ini menjadi wisata, karena kawasan wisata selalu identik dengan pembangunan hotel, hiburan malam, dan kawasan bisnis," jelasnya. Meskipun menolak jadi kawasan wisata, sambutan warga yang ramah saat menerima pengunjung, sesungguhnya telah membuat Kasuso menjadi kawasan wisata alternatif, yang lebih alami. (untuk Harian FAJAR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H