[caption id="" align="aligncenter" width="451" caption="Tembakau"][/caption]
BERBAGAI regulasi dan kebijakan yang tidak mendukung industri dan pertanian tembakau di Indonesia, membuat banyak petani dan pelaku usaha di sektor tersebut harus gigit jari. Di Sulawesi Selatan, misalnya, banyak petani tembakau berhenti menanam, dan beralih ke jenis tanaman lain.
Padahal, dengan sekitar 200 ribu hektare lahan tembakau di Indonesia, itu hanya mampu memenuhi separuh lebih kebutuhan tembakau dalam negeri.
Wakil Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo, memberi ilustrasi, konsumsi rokok di Indonesia diperkirakan sampai sekitar 340 miliar batang pertahun. Dengan asumsi 1 gram kebutuhan tembakau kering perbatang, berarti kebutuhannya 340ribu ton.
"Sementara, produksi tembakau kering di Indonesia tidak sampai 200ribu ton. Sangat miris, jika banyak kalangan usaha pertanian tembakau yang harus berhenti karena tidak banyaknya dukungan dari pemerintah, dan merasa permintaannya minim," jelas Budidoyo, Rabu lalu.
Dia mengungkapkan, petani tembakau di Indonesia menghasilkan produk yang berkualitas. "Karena rata-rata tembakau varietas lokal itu berkelas aromatik. Itu harganya mahal, sekitar Rp500ribu perkilo kering. Kalau yang biasa, yakni filler, yang lebih rendah nikotin, harganya cuma Rp80 ribu," katanya.
Makanya, pertanian tembakau, sebenarnya sangat menguntungkan, dan punya prospek pasar yang besar.
Budidoyo juga mengaku risih dengan rencana pemerintah terkait ratifikasi konvensi pengendalian lahan tembakau. Pasalnya, aturan tersebut mengatur soal diversifikasi (penganekaragaman) tanaman, dari tembakau ke tanaman-tanaman lain. Itu akan berperan menambah pengalihan lahan tembakau ke tanaman lain semakin besar. Padahal, sektor pertanian tembakau dan industrinya juga legal.
"Saat ini, ada sekitar 2 jutaan petani di Indonesia yang bergerak di sektor tembakau. Petani cengkih 1,5 juta. Kalau dihitung semua yang terlibat di tembakau, mulai dari petani hingga industri di hilir, bisa sampai 24 jutaan. Kontribusi dari Sulawesi Selatan masih kecil. Mungkin di bawah 10 persen," katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal AMTI, Agung Suryanto, menambahkan, pemerintah di daerah harus didorong untuk bisa melihat pertanian tembakau sebagai peluang. "Pemerintah mendapat dana bagi hasil cukai hasil tembakau. Kalau pemerintah di Soppeng, dan Bone, misalnya, mau memaksimalkan, potensinya besar," kata dia.
Dengan dukungan tersebut, kata dia, pemerintah bisa membantu mendukung peningkatan produktivitas tembakau yang selama ini cuma di kisaran 500-700 kilogram perhektar. "Idealnya, kalau petani mau untung, maka produktivitasnya di atas 700 kilogram hingga satu ton," katanya.