Lihat ke Halaman Asli

Menyinggung Etika dan Hukum (4-selesai)

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wujudkan Pengadilan Etika di Negara yang Plural

Keberagaman mazhab, sekte, dan agama membuat lahirnya standar etika yang beragam di negara bernama Indonesia ini. Tapi yakinlah, masing-masing memiliki kesamaan pada titik tertentu, untuk melakukan positivisasi etika.


Mengejawantahkan nilai-nilai etika ke dalam sebuah aturan mengikat sebetulnya bukan hal yang baru. Etika yang saya maksudkan, tentunya adalah nilai-nilai yang bersumber dari hal-hal metafisik: firman tuhan, wahyu, ilham, kitab suci, dst. Sistem pemerintahan berdasarkan etika yang berasal dari firman Tuhan misalnya, diterapkan di masa Nabi Muhammad Saw. Saat ini, positivisasi etika berdasarkan Syariat Islam itu juga diterapkan oleh Republik Islam Iran, dengan mengangkat seorang pemimpin agama, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sebuah Negara (Imamah).

Ada Syeikh Muhammad Taqiyuddin An Nabhani, yang menelurkan partai Islam Hizbut Tahrir, sebagai upaya mendorong terwujudnya pemerintahan yang khilafah, dengan berlandaskan syariah. Saya tidak berarti mendorong untuk mencontohi Pemerintahan Iran, dan gagasan pemrakarsa Hizbut Tahrir itu.

Satu-satunya pemerintahan yang pernah menjalankan prinsip etika dengan prinsip syariat islam dengan sempurna, menurut saya, adalah pemerintahan Nabi Muhammad Saw. Mungkin hanya Muhammad-lah, satu-satunya Nabi di antara para Nabi yang berperan lebih dari sekadar pemimpin spiritual (agama). Tapi juga pemimpin Negara, yang mewujudkan pemerintahan yang adil dan rakyat yang sejahtera. Dia menepis asumsi kalangan sekularisme, bahwa agama tidak bisa ikut campur dalam urusan pemerintahan dan mengatur-atur rakyat.

Kita memang hampir sulit menemukan formulasi yang tepat untuk mewujudkan Negara berbasis syariah itu seperti di masa nabi. Para ulama dan cendekiawan muslim di Indonesia, hingga dua ormas besar islam di negeri ini, NU-Muhammadiyah, malah menolak gagasan khilafah itu.

Lebih dari 60 tahun lalu, Taqiyuddin An Nabhani yang mendirikan Hizbut Tahrir, merumuskan formulasi pemerintah khilafah yang falsafahnya digali dari nas-nas syara’, sirah dan sunnah Rasulullah SAW.

Meskipun, cita-cita Taqiyuddin tak seperti cita-cita Sayyid Ayatollah Ruhollah Khomeini, tokoh revolusioner Iran, yang berhasil menjadi pemimpin Agung sekaligus Imam Republik Islam Iran.

Gagasan Taqiyuddin dengan Imam Khomeini soal syariah islam memang berbeda. Imam Khomeini melakukan revolusi, dengan mengembalikan sistem pemerintahan itu, seperti pada masa Nabi Muhammad. Seperti halnya ideologi Syiah, dia menginginkan sebuah pemerintahan yang tetap dipimpin oleh seorang imam dari keturunan keluarga Rasulullah (ahlul bayt).

Sementara, Taqiyuddin menginginkan kembalinya pemerintahan itu seperti pada masa khilafah, tepatnya di masa khalifah Usmaniyah. Dengan gagasan khilafah itu, dia mengeritik dan menyerang Negara-negara arab yang teramat dalam berkompromi dengan orang-orang barat, yang kapitalis.

Ide kedua tokoh ini tentang syariat Islam memang kurang diterima oleh masyarakat positivistik, yang sudah telanjur yakin dan percaya sistem demokrasi dengan hukum positif itu, sebagai sesuatu yang mutlak. Syariat Islam dianggap tidak relevan oleh masyarakat yang mengacu pada rasionalitas, dan keterandalan logika.

Bahwa wahyu, ilham, dan segala nash yang bersumber dari kitab Suci, AlQur’an, yang selanjutnya menjadi ajaran moral dan etika, cukup disampaikan di pengajian-pengajian saja. Di majelis taklim, khotbah jumat, di masjid, dll.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline