Lihat ke Halaman Asli

Andi Muhamad Hafid

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengaruh Four Great Powers Terhadap Konflik di Semenanjung Korea Bagi Perdamaian Dunia

Diperbarui: 7 September 2024   22:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Andi Muhamad Hafid Riyadi, Mahasiswa Hubungan Internasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


Salah satu masalah keamanan global yang paling serius saat ini adalah ancaman nuklir di Semenanjung Korea yang mana konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan dapat menyebabkan perang nuklir yang mempunyai dampak luas terhadap perdamaian dunia. Konflik di semenanjung Korea ini berlangsung dari tahun 1950 hingga 1953, namun hingga saat ini belum ada penyelesaian yang jelas mengenai status hubungan antara kedua wilayah tersebut (Mu'aqaffi, 2018).


Korea Utara berperan penting dalam krisis di Semenanjung Korea, terutama melalui pengembangan program nuklirnya. Korea Utara seringkali memperburuk ketegangan di kawasan dengan mengabaikan ancaman internasional yang melarang pengembangan senjata nuklir dan menarik diri dari Non-Proliferation Treaty (NPT) (Su Bai, 2022). Kemajuan dalam hubungan antara negara negara sekitar dapat terancam mundur akibat situasi yang terjadi di Semenanjung Korea, khususnya isu nuklir Korea Utara. Konflik yang terjadi di Semenanjung Korea tidak hanya berpotensi menghancurkan negara-negara yang terlibat, tetapi juga dapat mengganggu kestabilan politik internasional serta perdamaian dunia. Konflik yang terjadi selama ini bukan hanya dari kedua negara yang terlibat tetapi juga mendapatkan pengaruh dari four great powers seperti Jepang, Amerika, China dan Rusia.


1. Pengaruh Jepang


Kebijakan luar negeri Jepang terhadap Semenanjung Korea dikenal sebagai "two-Koreas policy" atau kebijakan 'dua Korea', yang mencerminkan penerimaan Jepang terhadap perpecahan di Semenanjung Korea dan penyesuaian komitmennya terhadap pengakuan Korea Selatan sebagai pemerintahan sah sambil menjaga keseimbangan hubungan dengan kedua Korea berdasarkan prinsip 'equidistance' atau keseimbangan. Jepang tetap memprioritaskan hubungan dengan Korea Selatan, namun juga mengakui keberadaan Korea Utara. Kebijakan ini dipengaruhi oleh dinamika Perang Dingin dan kerjasama pertahanan Jepang-Amerika, meskipun Amerika Serikat tidak terlibat langsung dalam perumusan kebijakan Jepang, posisi Amerika tetap menjadi pertimbangan penting mengingat perannya dalam menjaga keamanan nasional Jepang (Aldikawati, 2015).


Jepang menghadapi dilema dalam kebijakan reunifikasi Korea, sementara perpecahan Korea mengganggu stabilitas keamanan Asia Timur dan berdampak pada keamanan Jepang, reunifikasi Korea juga berpotensi menimbulkan ancaman baru bagi Jepang, terutama jika gabungan kekuatan ekonomi dan militer Korea Selatan dan Utara menciptakan sentimen anti-Jepang. Strategi yang dianggap sesuai dengan kepentingan nasional Jepang adalah "unification by consensus," yang berfokus pada pencapaian perdamaian dan stabilitas di kawasan. Jepang dapat berkontribusi pada proses reunifikasi dengan meningkatkan kerjasama ekonomi dengan Korea Utara meskipun tidak dapat mengakui Korea Utara secara diplomatik karena keterikatan aliansi dengan Amerika Serikat. Langkah ini diharapkan dapat membangun kepercayaan dan memajukan tujuan stabilitas kawasan (Aldikawati, 2015).


2. Pengaruh China


 Sejak normalisasi hubungan dengan Korea Selatan, Cina menerapkan kebijakan 'equidistant' dengan memelihara hubungan politik dan ideologi dengan Korea Utara sambil meningkatkan hubungan ekonomi dengan Korea Selatan. Setelah Perang Dingin, Cina menerapkan kebijakan 'two-Koreas policy' seiring dengan perubahan orientasi politik dan meningkatnya regionalisasi di Asia Timur. Cina tetap menjadi aliansi penting dan mitra dagang utama Korea Utara, serta memiliki hubungan politik tingkat tinggi dengan negara tersebut. Kore Utara dianggap sebagai zona penyangga strategis dan arena politik penting bagi Cina. Cina menginginkan reunifikasi Korea yang damai melalui rekonsiliasi dan kerjasama, demi keamanan nasional dan keberlangsungan pertumbuhan ekonominya. Meski mendukung reunifikasi, Cina lebih memilih proses yang bertahap dan independen untuk menghindari ketidakpastian dan gangguan yang mungkin timbul dari dominasi Korea Selatan setelah reunifikasi. Cina berperan sebagai mediator yang adil dalam konflik internasional, dengan fokus pada ekonomi regional dan kepentingan keamanan. Cina dapat memanfaatkan posisinya untuk memfasilitasi dialog damai antara kedua Korea, baik melalui forum Six-Party Talks atau dengan membentuk forum baru seperti Four-Party Talks, yang dapat memberikan kontribusi penting dalam proses reunifikasi, mirip dengan yang dilakukan pada reunifikasi Jerman setelah Perang Dingin.


3. Pengaruh Amerika Serikat


Amerika Serikat menerapkan kebijakan luar negeri yang mendukung Semenanjung Korea dengan tujuan mencapai reunifikasi yang selaras dengan kepentingannya melalui aliansi pertahanan dengan Korea Selatan. Amerika mendukung secara resmi proses reunifikasi Korea dan berupaya membangun masa depan yang stabil dan damai di kawasan tersebut dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan ekonomi pasar bebas. Dalam konteks ini, Amerika menginginkan reunifikasi Korea yang stabil, demokratis, dan berorientasi pada pasar bebas, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diusungnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Amerika lebih memilih skenario reunifikasi dengan konsensus, di mana proses tersebut dilakukan secara damai dan sesuai dengan kepentingan pro-Amerika. Dengan pendekatan ini, Amerika dapat memperkuat pengaruhnya di Asia Timur dan di Semenanjung Korea selama masa dialog untuk rekonsiliasi dan kooperasi, sehingga jika reunifikasi terjadi, Korea yang bersatu akan cenderung pro terhadap Amerika Serikat.


Amerika Serikat membuat aliansi militer bersama Korea Selatan dan Jepang sebagai fondasi pertahanan di Asia, Amerika Serikat juga mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi dan perdagangan bebas di kawasan Asia Timur. Pada pertengahan 2011, pemerintahan Obama mengumumkan bahwa kebijakan luar negeri Amerika akan fokus pada Asia melalui inisiatif "Pivot to Asia" yang menekankan pergeseran perhatian ke kawasan ini. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan Cina yang menuju status sebagai kekuatan global utama, serta pengaruh dari negara-negara seperti Australia, India, Korea Selatan, dan anggota ASEAN terhadap ekonomi global. Politik luar negeri Amerika di Semenanjung Korea dapat dikatakan sebagai strategi besar (grand strategy) yang bertujuan tidak hanya untuk mempertahankan kekuatan Amerika di Korea Selatan terkait isu konflik, tetapi juga untuk mempertahankan pengaruh Amerika di kawasan dan tingkat global sebagai negara adidaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline