Lihat ke Halaman Asli

Pesan Ibu Warsini

Diperbarui: 19 Oktober 2022   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

aku meletakan ponsel. aku hirup jahe pandan wangi yang meneduhkan. Pikiranku saat ini tampak kusut. Time line di ponselku penuh dengan Dream Case  Fabian Susilo. sebagai seorang pengacara aku telah lama mendambakan namaku melegenda di berbagai media atas kasus Nasional ini. 

Sayang seribu sayang aku tidak mampu mengiyakan tawaran  itu. aku tidak mampu untuk menerima kasus ini. kenapa,  padahal aku seorang pengacara wanita bertalenta. kasus sengketa pun telah banyak  aku punya kuasa dan upaya. Tugas pengacara bukan semata-mata untuk membela orang yang benar-benar bersih. Pengacara itu ada untuk membela agar orang mendapat putusan hukum sesuai perbuatannya.

aku kembali menyeruput jahe pandan ku yang mulai mendingin seperti kepalaku. aroma jahe pandan ini membawaku kepada masa yang terlah berlalu di belakang. persis saat ini Ibu Warsini menghadiahiku minuman tonik herbal jahe pandan ini setiap sebelum berangkat sekolah. saat usia sekolah dasar aku adalah satu-satunya siswa yang memiliki buku Garis-garis besar Haluan Negara GBHN. karir pengacaraku bermula dari buku Warisan turun temurun Keluarga Ibu Warsini itu.

Seperti biasanya, Ibu Warsini akan memegang Sutil dan penggorengan menyiapkan nasi goreng seafood penuh protein untuk kami. Tangan ibu Warsini memang mengaduk-aduk nasi tapi lihatlah mulutnya tetap konsisten menyoroti Kasus Krisis 98.

 Ibu Warsini bilang, Sofa ini dibuat dari serabut kelapa terbaik di Negeri Ini. Sofa ini pernah diduduki oleh Pak Harto saat  ada panen raya di kampung ini. di sela-sela pa mimbar pagi milik Ibu Warsini ia kembali berpesan. besok kalau sudah besar janganlah menikahi 1. Polisi 2. Pejabat Pemerintah.  Menikahlah dengan 1. Guru 2. Pedagang.

Seketika aku terbelalak. Pesan itu seperti lulaby yang dinyanyikan sepanjang hari tepat sebelum tidur, sayang ini adalah nyanyian pagi. selama Ibu Warsini Hidup selama itu juga berpesan untuk tidak menikahi polisi dan pejabat pemerintah. aku pun tidak begitu pusing atas pesan Ibu Warsini itu. Itu adalah angin lalu bagiku. 

Aku pun sungguh heran Ibu Warsini dari gaya bicaranya ia cukup elegan dan berkelas.  ia tampak sangat hafal akan para tabiat perwira negara itu. ia juga tampak kecewa bahkan menderita karena kisah cintanya. atau barangkali ia sungguh menyesal menjadi Istri yang bukan sungguh-sungguh perwira. Ia benar-benar menjadi Istri dari seorang Guru Ilmu Bumi. Ia seperti hidup dengan kualitas baik sebelum Ia menikahi Pak Sukoto  Eyang Kakungku.  

Hari berjalan sangat lambat, Kisah cinta Ibu Warsini masih saja mengalun lekat di telingaku berdenging nyaring. Suatu hari salah seorang Polisi muda berpangkat perwira menghampirinya. Ibu Warsini saat itu adalah seorang anak Polisi berpangkat rendah ia Hadis berdarah Tionghoa Jawa. matanya sipit kulitnya bersih tutur katanya manis khas orang Solo. Seorang anak perwira tinggi sudah lama menaruh hati pada Ibu Warsini. 

karena Ibu Warsini telah banyak mengalami hitam putih hidup dalam keluarga Polisi  tentu itu hal sulit karena Ayah Ibu Warsini pun tidak berharap kelak anak keturunannya akan melanjutkan hidup sebagai keluarga polisi atau pejabat hukum. menjadi polisi itu berarti sama dengan menikahi negara kau harus siap berpindah sewaktu-waktu. 

Kau juga harus siap memiliki anak yang lahirnya tidak satu tempat pun yang sama. dan kau juga harus siap suamimu akan senantiasa dalam bahaya. bahaya dari musuh luar dan musuh diri sendiri untuk tidak terlena pada jabatan, kekuasaan dan wanita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline