Pada tanggal 1 Ramadhan tahun 2021 merupakan hari yang paling menyedihkan di dalam hidupku. Karena hari itu merupakan hari dimana nenek yang aku cintai dan sayangi harus dipanggil ke Rahmatullah. Hari yang cerah saat itu sekejap berubah menjadi gelap gulita bagiku. Tak kusangka nenekku bisa pergi secepat itu sebelum menyaksikan dan merasakan kesuksesanku. Aku ingin agar aku bisa membalas budi dengan kesuksesanku kepadanya, meskipun itu tidak sepadan dengan apa yang sudah Ia berikan. Namun keinginan itu harus ku kubur dalam-dalam seiring dengan kepergiannya.
Nenekku berumur 96 tahun. Ia sangat mencintai suaminya yaitu kakekku. Setelah kepergian kakekku di tahun 2007, nenekku hampir setiap hari berkunjung ke makamnya yang tak jauh dari rumahku untuk sekedar mengirimkan do'a atau menyapu kuburan dari daun dan bunga yang berguguran. Nenekku juga berjiwa penyayang karena beliau selalu bersikap ramah dan penuh kasih sayang pada setiap anak cucunya.
Awalnya di bulan Januari tahun 2021, nenekku sempat terjatuh dikamar mandi sehingga membuat tangan kirinya sangat bengkak. Tak heran semenjak kejadian hari itu, tukang urut selalu berlalu lalang dirumahku. Salah satu hobi beliau selain berkebun adalah merajut. Ia selalu membuatkanku rajutan seperti tas rajut, cardigan, kaus kaki, dll. Namun beliau harus merelakan hobinya itu karena kondisi tangannya yang tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas. Kesehatan nenekku semakin memburuk sejak itu, berawal dari sakit tangan hingga menjalar keseluruh tubuhnya.
Sulit sekali untuk mencari rumah sakit yang pas, karena di tahun 2021 merupakan tahun di mana pandemi covid 19 sedang naik naiknya. Tetapi akhirnya beliau bisa dirawat di salah satu rumah sakit yang ada di Bandung selama satu minggu. Tapi dokter menyarankan agar nenekku dirawat di rumah saja karena kondisinya yang sangat buruk sehingga dokter pun angkat tangan. Aku masih bisa mengingat masa-masa itu yang sangat suram. Dimana keluargaku sangat khawatir akan keadaan nenekku.
Malam sebelum nenekku meninggal aku sempat berbincang dengannya tentang tarawih sambil memijat tangan dan kakinya. " Nek nanti kita tarawehan bareng lagi ya, kalau tarawehnya di masjid Baiturrahman suka dapet makanan hehe..." Ia pun menanggapi semua candaanku dengan tawanya yang khas. " Iya, kalau nenek sembuh pasti kita akan tarawehan bareng lagi kok! Makanya kamu harus do'a in nenek agar lekas sembuh ya neng!" Jawabnya. Sebenarnya aku membuat candaan itu untuk menutupi kesedihanku dan melebur semua ketegangan diantara keluargaku. Beliau berbincang sembari berbaring di ranjangnya dengan satu mata yang tertutup. Dokter bilang itu karena saraf-saraf yang ada di matanya mati sehingga menyebabkan kebutaan di salah satu matanya. Nafasnya juga mulai terdengar berisik. Itulah yang membuatku semakin sedih. Dipagi harinya Ibuku memanggilku ke kamar nenekku karena semua keluarga sudah berkumpul di situ, bahkan saudaraku yang jauh saja rela datang menemui nenekku.
Ibuku berkata bahwa nenek ku ingin meminta maaf pada semuanya yang artinya beliau sudah tahu bahwa ajal sudah di depan matanya. Namun aku tidak mau datang karena aku takut tak kuasa menahan tangis disana. Aku malah memilih diam di kamarku dan menonton film untuk menghibur hatiku yang pilu sembari diikuti pikiran yang berkecamuk tak karuan. Tapi semua saudaraku memaksaku untuk datang menemui nenekku. Akhirnya dengan pasrah aku berada di barisan saudaraku menunggu giliran untuk salam pada nenekku, saat giliranku tiba aku merasa canggung sekali terhadap nenekku, ini merupakan pertama kalinya aku merasa seperti itu padahal aku sangat dekat sekali dengannya. Kemudian beliau memberi nasihat sambil mengelus kepalaku. "Neng! jadi anak yang baik ya, harus nurut sama orang tua. Jadi anak yang sholeh dan pinter supaya bisa membanggakan nenek. Jangan sedih ya kalau nenek gak ada, kan nanti kita ketemu lagi!" Ucapnya dengan nafas terengah engah. Aku hanya mengangguk tersenyum malu dengan air mata yang hampir jatuh dipelipisku.
Di siang harinya setelah Dzuhur, nenekku menghembuskan nafas terakhirnya dengan dituntun oleh keluargaku untuk mengucapkan kalimat syahadat. Tangisku dan keluargaku pecah saat nenekku dimasukan ke dalam liang lahat.
Hari itu aku merasa seakan dunia hancur. Pikiranku dipenuhi oleh nenekku. Setiap hari dan setiap detik rasanya tidak bermakna. Butuh waktu lama bagiku untuk bisa mengikhlaskan kepergiannya. Saat itu aku masih berumur 15 tahun dan duduk di bangku 1 SMA. Semenjak itu hampir setiap hari aku selalu berkunjung ke makam nenek untuk memanjatkan doa dan menaburkan bunga di kuburannya yang masih basah. Sampai sekarangpun masih begitu, meskipun kunjungan ku tidak sesering dulu. Tapi dimanapun dan kapanpun aku berada aku selalu memanjatkan doa untuk nenek agar kelak aku bisa bertemu lagi denganya di surganya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H