3 (tiga) dosa besar yang disebut Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, menjadi inti bahasan dalam serangkaian kegiatan Aceh Youth Conference on Violance (AYCV) oleh Katalisator Muda Aceh.
Padal 24-25 Juli 2021, Sebuah Komunitas kepemudaan di Aceh, Katalisator Muda Aceh yang merupakan bagian dari Katalisator Muda Indonesia, melangsungkan konferensi daring yang membahas topik kekerasan terhadap perempuan dan anak, perundungan (bullying), dan diksriminasi di Aceh.
Penulis merupakan salah satu delegasi yang turut serta dalam konferensi dan menjadi bagian dari majelis bullying. Membahas isu yang dekat dengan lingkungan atau bahkan pernah kita alami memang menimbulkan suasana yang lebih emosional, namun atas alasan itu pula, kita bisa lebih perduli dan relate dengan apa yang hendak kita sampaikan dan hendak kita tuju.
Fakta menarik yang muncul dan jadi spesifikasi fokus dalam majelis bullying adalah tentang perundungan yang terjadi di institusi pendidikan di Aceh.
Menilik data dari Organisation of Economic C0-operation and Development (OECD) dalam riset Programme for International Students Assesment (PISA), sebanyak 41,1 % pelajar Indonesia pernah mengalami perundungan. Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Himmah Fadhilah Aminy, Mahasiswi Universitas Syiah Kuala, terhadap 468 siswa/i dari enam sekolah di Banda Aceh menunjukkan hasil 33,1% siswa pernah menjadi korban dan 15,2% pernah menjadi pelaku perundung. Selain itu, jenis perundungan secara verbal menjadi kategori yang paling umum dilakukan siswa/i SD-SMP-SMA.
Perundungan yang terjadi di Institusi Pendidikan agaknya masih belum terlalu mencuat ke publik, namun kasus ini nyata adanya bahkan ada penelitian yang dilakukan di sekolah berasrama di Banda Aceh yang menunjukkan bahwa kasus perundungan juga kerap terjadi di sekolah asrama.
Lebih lanjut, kasus perundungan di Sekolah Dasar yang paling dominan disebabkan oleh perbedaan suku dan agama. Melihat kondisi Aceh terdiri dari 23 kabupaten dengan 13 suku yang memiliki 10 bahasa daerah, hal itu sangat mungkin terjadi. Sebagai contoh, salah seorang delegasi dalam Konferensi juga menceritakan kisahnya saat bermigrasi dari Aceh Tengah ke Ibu Kota Banda Aceh dan mulai bersekolah di lingkungan yang mayoritas siswanya merupakan Suku Aceh yang fasih berbahasa Aceh. Ia mengaku mendapatkan perundungan dengan dikata-katai, di omongin dengan bahasa Aceh dan ia tidak tahu sama sekali maksud dari ejekan teman-temannya itu, hanya yang jelas terlihat dari raut wajah para pelaku itu membuat ia tidak nyaman sama sekali.
Saat konferensi berlangsung, para delegasi juga turut memberikan pandangan masing-masing terkait perundungan. Dua diantaranya karena minimnya kepedulian masyarakat dan sosial media. Mungkin jika kita membahas tentang kepedulian masyarakat akan banyak argumen yang muncul dari berbagai sisi. Penulis yakin bahwa bagian inti dari masyarakat yang harusnya benar-benar dirawat adalah ketahanan keluarga. Anak terlahir dari keluarga dan berkembang pada tahap awal juga didalam keluarga, ketika telah siap barulah ia berbaur dalam kehidupan sosial bermasyarakat yang ditandai mulai disekolahkan, mengikuti les dan melalukan aktivitas lainnya. Saat ketahanan keluarga tergolong rendah otomatis pengaruh dari luar akan lebih cepat diterima oleh anak, mungkin sistem penyaringannya pun sukar untuk memilah yang baik dan tidak. Kemudian, pengaruh dari luar ini akan terus mendominasi dan sulit untuk ditengahi kembali oleh keluarga sekalipun.
Lalu jika berbicara tentang sosial media, tentu turut membahas tingkat literasi Indonesia yang masih dibawah rata-rata. Baru-baru ini Microsoft pun merilis hasil survey yang menunjukkan betapa rendahnya tingkat literasi masyarakat dalam bersosial media. Hal ini juga disebabkan oleh berbagai faktor dan menimbulkan efek yang nyata, salah satunya terjadi Cyber bullying, tindakan perundungan siber. Menjadi momok menakutkan saat kita tahu yang berada di sosial media bukan hanya orang dewasa tapi juga anak-anak, dari segi profesi juga begitu beragam. Euforia terhadap kecanggihan teknologi dengan segala kemudahannya juga menciptakan celah yang menakutkan, karenya kita harus siap dan mempersiapkan lingkungan kita.
Banyak kita temui, berbagai ujaran kebencian begitu mudah dilontarkan secara tertulis di kolom komentar baik terhadap individu bahkan institusi tertentu. Mirisnya pelaku bahkan menggunakan akun anonim. Kelakuan lainnya seperti menyebarluaskan video pelecehan, kekerasan di sekolah, berbagai postingan yang mengintimidasi acap kali terjadi di sosial media. Jika berkaca pada situasi pandemi, perluasan terhadap objek perundungan bahkan terjadi pada nakes dan pasien positif Covid-19.