Lihat ke Halaman Asli

AHMAD WALELA

Mahasiswa Undiksha

Gelap Di Timur: Menyibak Tantangan pendidikan di papua ditengah Modernisasi

Diperbarui: 28 Desember 2024   09:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebuah paradoks yang menggetarkan tersimpan di ujung timur Indonesia, di tempat matahari pertama kali menyapa Nusantara. Dengan banyaknya sumber daya alam dan budaya yang indah, Papua masih menghadapi tantangan pendidikan yang tampaknya tidak kunjung usai. Potensi anak Papua masih terhalang oleh berbagai hambatan struktural dan kultural yang kompleks, seperti permata yang belum sepenuhnya digali.

Tantangan geografis menjadi penghalang pertama dalam mencapai pemerataan pendidikan di Papua, yang tersebar dari pegunungan hingga pantai. Akses ke sekolah menjadi sulit karena jarak yang jauh dan medan yang sulit dijangkau. Banyak anak harus berjalan jauh, menyeberangi sungai, atau melalui hutan untuk sampai ke sekolah, yang terkadang hanyalah sebuah gubuk beratap daun sagu.

Namun, kesulitan tidak terbatas pada lokasi geografis. Infrastruktur pendidikan di Papua dan daerah Indonesia lainnya masih sangat terbatas. Data Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa rasio guru terhadap murid di Papua masih jauh dari ideal. Satu guru seringkali harus mengajar puluhan siswa dari berbagai tingkatan kelas secara bersamaan. Selain itu, masalah kekurangan buku teks dan laboratorium di banyak sekolah.

Selain itu, budaya orang Papua yang berbeda memberikan perspektif unik pada masalah pendidikan. Seringkali, sistem pendidikan formal tidak sesuai dengan kearifan lokal dan gaya hidup tradisional orang Papua. Misalnya, banyak siswa terpaksa meninggalkan sekolah untuk membantu keluarga mereka saat musim berburu atau panen sagu tiba. Ini adalah gambaran dari kompleksitas sosial budaya yang perlu dipahami dan diakomodasi dalam sistem pendidikan, bukan sekadar masalah disiplin.

Sebaliknya, masalah bahasa adalah masalah khusus. Banyak bahasa daerah yang digunakan di Papua, dan banyak anak-anak baru belajar Bahasa Indonesia ketika mereka mulai sekolah. Hal ini menghambat pemahaman selama proses pembelajaran. Guru yang didatangkan dari luar Papua seringkali kesulitan berkomunikasi dengan siswa sementara guru lokal masih terbatas. selain itu, masalah kualitas pengajaran menjadi perhatian utama. Banyak guru yang ditugaskan di Papua menghadapi masalah untuk menyesuaikan diri dengan budaya baru mereka dan lingkungan baru mereka. Banyak dari mereka akhirnya memilih untuk kembali ke daerah asal mereka, meninggalkan kekurangan tenaga pendidik yang tetap. Aksesibilitas dan kontinuitas program peningkatan kompetensi guru juga sering menjadi masalah.

Kompleksitas pendidikan di Papua juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Ironisnya, banyak keluarga masih hidup di bawah garis kemiskinan meskipun ada banyak sumber daya alam yang tersedia. Meskipun pemerintah sudah memberikan bantuan, biaya pendidikan tetap menjadi beban besar bagi sebagian besar keluarga. Ini belum termasuk biaya tambahan seperti seragam, buku, dan transportasi, yang sering menjadi alasan putus sekolah.

Kesehatan dan gizi juga memengaruhi kualitas pendidikan. Kemampuan kognitif dan prestasi akademik siswa berkorelasi dengan angka stunting yang masih tinggi di Papua. Meskipun program makanan tambahan sekolah telah dimulai di beberapa daerah, belum mencapai semua wilayah yang membutuhkannya.
Teknologi seharusnya mengatasi perbedaan akademik, tetapi justru menciptakan perbedaan baru. Pembelajaran digital, yang menjadi tren di seluruh dunia, sulit diterapkan di Papua karena akses internet yang terbatas dan mahal serta infrastruktur listrik yang kurang di banyak daerah. Kesenjangan digital ini semakin dipertegas oleh pandemi COVID-19, yang menghalangi banyak siswa Papua untuk bersekolah jarak jauh.

Beberapa inisiatif kreatif mulai muncul di tengah berbagai kesulitan ini. Sekarang ada beberapa program pendidikan kontekstual yang menggabungkan kearifan lokal dengan kurikulum nasional. Sekolah-sekolah alternatif yang mengakomodasi ritme hidup masyarakat adat juga mulai mendapat perhatian. Model pembelajaran mobile bahkan digunakan di beberapa komunitas, di mana guru mengunjungi siswa di kampung-kampung terpencil.

Mereka juga mulai mengakui peran masyarakat adat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan. Solusi yang lebih kontekstual dan berkelanjutan mulai muncul sebagai hasil dari diskusi yang intens antara pemerintah, tokoh adat, dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Juga mulai terlihat hasil positif dari mendukung guru lokal melalui program beasiswa dan pelatihan khusus.
Namun, jalan menuju pemerataan pendidikan di Papua masih jauh.

 Dibutuhkan komitmen yang kuat dan konsisten dari semua pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga komunitas lokal. Reformasi sistem pendidikan yang mempertimbangkan unik Papua, peningkatan anggaran yang signifikan, dan pengawasan dan penilaian yang ketat terhadap program-program yang dijalankan adalah kuncinya. Dengan segala keunikan dan tantangan yang ada di Papua, pendekatan pendidikan yang tepat harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang situasi dan kebutuhan lokal daripada hanya mengambil contoh dari negara lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline