Saya teringat pendapat bahwa bahasa dan sejarah punya kaitan yang erat. Bahasa kerap mencerminkan sikap dari sebuah tradisi dan perjalanan zaman di mana ia berpijak. Ia tidak pernah hilang dari lingkup budaya dan historis manusia tempat ia dilahirkan.
Era kiwari, kecepatan zaman seolah mendorong pintu bahasa untuk bergerak lebih cepat. Kosata kata dan lema baru terus diproduksi baik itu yang baku, dalam arti terpapar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maupun tidak.
Dinamika berbahasa saat ini jauh lebih pesat perkembangannya di tengah ribuan umat manusia. Dari yang model bahasa campur Inggris-Indonesia-Arab, hingga penyerapan dari kosa kata asing untuk diadopsi dan dijadikan bahasa gaul.
Meskipun demikian penyerapan kosa kata merupakan bukan hal yang baru. Banyak dalam kitab KBBI kita yang menggunakan kata dan lema serapan. Penyerapan banyak terjadi juga di luar kitab tersebut. Membludagnya penyerapan (penggunaan) kosa kata asing kendati tak tertera dalam kamus besar kita mengambarkan makna gamblang bahwa perkembangan berbahasa memang sedemikian dahsyat dan pesat.
Nah salah satu kata yang mungkin sudah tidak asing dari gendang telinga para kaum milenial adalah bestie. Secara genealogis serta asal muasal kata ini sudah pasti bisa kita tebak. Tidak salah lagi, kosa kata tersebut diambil langsung dari bahasa Inggris.
Perlu kita kaji untuk apa dan bagaimana lema bestie ini digunakan. Kita mungkin paham, makna dari lema tersebut tidak lain ialah ikatan antara dua orang manusia yang selama ini kita sebut sahabat. Jauh sebelum lema bestie dipopulerkan, kita biasa menggunakan lema sohib sebagai sinonim dari sahabat.
Pada intinya, bestie adalah sebuah bahasa di mana menggambarkan wujud dari sebuah zaman. Sekaligus untuk menggambarkan sebuah hubungan intim (dalam pengertian positif) dari ikatan dua orang manusia. Biasanya lema ini digunakan untuk menggambarkan sebuah ikatan yang esoteris.
Membincangkan soal persahabatan, rasa-rasanya kurang afdol jika kita melewatkan pandangan salah seorang filsuf asal Prancis tak lain beliau adalah Michel de Montaigne. Jika Kalian mengenal tulisan genre essai, maka ialah yang pertama menulis model demikian.
Kita akan melihat bagaimana sebuah karya dari de Montaigne yang melihat relasi antara dua insan untuk membentuk satu ikatan bernama persahabatan. Kendati persahabatan adalah pengalaman empirik yang mungkin bagi kita biasa saja, namun pada titik terjauhnya ada banyak hal-hal filosofis yang terkandung. Nah kita akan melihat de Montaigne menjadikan per-bestie-an sebagai objek refleksi filosofisnya.
Perlu untuk dicatat bahwa de Montaigne sendiri adalah anak kandung renaisans. Ia didaulat sebagai bapak skeptisime modern. Kita perlu melihat beberapa sekelumit pemikirannya, terutama tentang ihwal model skeptisisme yang dikembangkan.
Montaigne ingin mengatakan, bahwa persahabatan bukan hanya relasi jasmani, melainkan lebih dari sekedar itu. Ada relasi atau hubungan batin yang lebih intim di antara keduanya dalam artian hal yang positif. Ia juga berasumsi bahwa persahabatan bukan sebagai jalan untuk meraih sesuatu. Dalam perspektifnya de Montaigne, sahabat merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, sahabat untuk (ber)sahabat dan Ia tidak menjadikan sahabat sebagai sarana untuk mencapai hal lain di luar persahabatan itu.