Lihat ke Halaman Asli

Putri Kecil Mama

Diperbarui: 4 November 2021   14:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini aku memulai hariku sama seperti hari-hariku sebelumnya yakni, mengurus dan mengantar anakku ke sekolah. Lebih tepatnya Taman Kanak-Kanak. Sebelum masuk ke dalam kisahku, perkenalkan namaku Arabella Shannon sedangkan anakku bernama Eliza yang memiliki arti berharga. Aku berharap nama itu akan selalu menjadi doaku untuknya. Ditengah lamunanku, suara Eliza merisak gendang telingaku.

“Mama,” panggilnya.

Aku membalikkan tubuhku dan mensejajarkan diriku tinggi dengan tinggi tubuhnya. “Anak mama sudah mandi?” tanyaku dengan riang.

“Sudah ma. Mama lihat! Aku sudah bisa memasang bajuku sendiri,” ungkap Eliza tersenyum lebar.

Aku mengusap rambutnya, “anak mama memang pintar.”

Tiba- tiba Eliza menarik tanganku. “Mama juga harus siap-siap. Eliza sisir rambut mama yah.” 

Aku mengangguk menanggapinya. Selepas kami bersiap, kami berjalan di pinggir trotoar menuju sekolah Eliza sembari memakan roti lapis yang ku buat pagi ini. Tak butuh waktu lama, kami telah sampai. Aku mengantarkannya hingga di depan pintu kelas.

“Eliza. Fighting,” ujarku menyemangatinya dan Eliza membalasku dengan tangannya yang melingkar bergambar hati, “Saranghae, mama.” Aku tertawa melihatnya. Sesederhana itulah kebahagianku. Ditengah percakapan isyaratku dengan Eliza, aku menemukan Pak Leo selaku guru Eliza berdiri disebelahku.

“Kau sudah bisa meninggalkannya,” ujarnya.

Aku tersenyum, “aku percayakan dirinya. Sampai jumpa.” Aku berlalu pergi menuju tempat sekolahku berada. Jika semua orang mengira aku telah bekerja. Mereka salah. Nyatanya aku masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Lantas mengapa aku sudah memiliki seorang anak perempuan? Pasti kalimat itulah yang menjadi pertanyaan bagi setiap orang hingga menganggapku bukanlah seorang perempuan baik-baik. Namun, aku tidak peduli sebesar apapun orang tidak menyukaiku atau bahkan membenciku. Yang terpenting adalah Eliza.

Satu hal yang selalu kututup rapat dari banyak orang kecuali Pak Leo tentunya, karena dialah yang selama ini telah membantuku untuk menjaga Eliza di sekolah. Hal yang kututupi itu adalah kenyataan bahwa Eliza bukanlah anakku. Aku selalu mengingat hari itu, hari dimana aku menemukannya sendirian dan dalam keadaan ditinggalkan. Hatiku terenyuh melihatnya. Saat itu tak ada seorang pun yang tahu jika ada bayi yang terbungkus selimut di dalam kardus dalam keadaan kedinginan di balik semak-semak. Awalnya aku berpikir untuk membawa bayi itu ke panti asuhan. Namun, hal itu ku urungkan. “Sebab di dunia ini tak ada satu pun seorang anak yang ingin hidup tanpa orang tua disisinya. Semua anak butuh kasih sayang dan semua anak layak mendapatkannya terlepas dari latar belakang dan keadaannya,” pikirku. Akhirnya aku memutuskan untuk merawat bayi itu dan membawanya pulang bersamaku tetapi orang tuaku justru mengusirku. Dengan berat hati aku pergi meningalkan rumah dan menyewa apartemen kecil dengan harga murah untuk kutinggali bersama bayi itu. Bayi itu kuberi nama Kamalia Eliza.


🔲 🔲 🔲


Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline