Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu dalam melaksankan kegiatan sehari-hari tidak terlepas dari Agama, Adat dan Budaya Bali. Tatanan kehidupan masyarakat Hindu di Bali senantiasa berpedoman pada ajaran Agama Hindu yang diyakini sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan dan tujuan hidup (moksartam jagathita ya ca iti dharma). Moksartam berarti tujuan tertinggi dalam agama Hindu, sedangkan Jagathita adalah kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan setiap orang. Kentalnya ajaran Agama Hindu untuk menggapai tujuan hidup, direalisasikan dalam ajaran yang menuntun umat Hindu sebagai makhluk yang mampu dan wajib menjaga keselarasan dan kelangsungan hidup alam semesta, karena manusia memiliki kemampuan lebih dari makhluk lain di dunia ini yaitu kemampuan untuk berbicara, berbuat dan dan berfikir.
Dengan kelebihan itu, Umat Hindu di Bali mengimplementasikannya dalam ajaran Tri Hita Karana yang mengandung makna 3 (tiga) penyebab kebahagiaan yakni parahyangan, pawongan, dan palemahan sebagai kearifan lokal yang dijadikan pedoman untuk menjaga keseimbangan hidup di alam semesta ini. Segala tindakan yang akan dilakukan selalu mempertimbangkan aspek hubungan kita sebagai manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan), sesama manusia dan lingkungan sekitar.
Keselarasan hubungan dalam Tri Hita Karana pada dasarnya harus dilandasi oleh perbuatan atau tingkah laku yang baik. Segala tindakan dalam ajaran Agama Hindu ada yang disebut Tri Kaya Parisudha merupakan pendidikan karakter yang dijadikan pedoman bertindak mulai dari berkata, berfikir, dan berbuat. Kesemua itu juga diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat guna menjaga keselarasan dan keseimbangan hidup untuk mencapai kebahagiaan.
Hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), berdoa atau sembahyang sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan harus didasari oleh sikap dan pikiran jernih serta tulus ikhlas memohon kepadaNya agar diberikan kebahagiaan dunia maupun akhirat. Masyarakat Hindu di Bali melakukan persebahyangan di Pura dan Trisandya adalah kewajiban tiga kali sembahyang untuk setiap harinya dapat dilakukan di rumah atau menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serat keadaan.
Hubungan manusia dengan sesama (Pawongan), menjaga hubungan yang harmonis antar sesama manusia merupakan kebutuhan untuk saling memenuhi. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri, harus selalau menjalin hubungan dengan saling membantu dan melengkapi karena kemampuan berbeda setiap individu. Kehidupan bergotong royong sangat kental dengan kehidupan masyarakat Bali, terutama pada saat ada upacara Agama atau Adat dan banyak ditemui pada organisasi sosial seperti, subak, sekeha santhi, dll.
Hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan), melestarikan lingkungan sekitar merupakan kewajiban manusia untuk menjaga kelangsungan hidup alam semesta. Manusia tidak dapat lepas dari kehidupan alam sekitar karena alam menyediakan semua kebutuhan manusia dari sandang, pangan, papan dan seluruh kebutuhan manusia lainnya. Masyarakat Hindu di Bali senantiasa menjaga alam sekitar dengan cara seperti yang telah ditanamkan dalam ajaran Agama Hindu berupa hari-hari suci berkaitan dengan alam seperti Tumpek. Tumpek merupakan upacara selamatan kepada lingkungan sekitar. Banyak Tumpek di kenal dalam masyarakat Hindu di Bali diantaranya Tumpek Landep, Tumpek Pengarah, Tumpek Krulut, Tumpek Kuningan, Tumpek Kandang, dan Tumpek Wayang yang kesemuanya itu merupakan wujud ucapan terimakasih kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta yang telah memeberikan kemakmuran kepada kehidupan ini.
Tri Hita Karana sebagai jalan menuju kebahagiaan harus dilandasi dengan perilaku yang baik mulai dari berkata, berfikir dan berbuat (Tri Kaya Parisudha), serta selalu dilakukan dalam segala tindakan agar keseimbangan alam semesta selalu terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H