Kualitas siswa masih rendah. Kualitas guru juga rendah. Kebijakan pendidikan belum bergerak secara radikal. Semua saling sengkarut. Lalu, di luar tantangan dan tuntutan terus meningkat. Salah satu tuntutan yang mendesak itu berasal dari diskursus Revolusi Industri (RI) 4.0 sekarang ini.
Revolusi 4.0 mewakili generasi ke-empat dari perkembangan perubahan struktur sosial masyarakat yang radikal (revolusi). Dari Revolusi Industri berbasis uap (RI-1), elektrik (RI-2), computerized dan automation (RI-3) hingga cyber phisical systems (RI-4). Dalam hal keradikalan ini mirip bagaimana masyarakat pertanian yang lampau bergeser ke masyarakat industri. Bedanya bahwa revolusi 4.0 ini adalah puncak dari revolusi computerized menuju sistem digitalisasi.
Salah satu ciri dari revolusi 4.0 ini adalah munculnya disruptive innovation pada segala lini kehidupan. Bukan hanya di sektor bisnis yang saat ini sudah berlangsung sengit tapi juga di dalam lembaga-lembaga publik seperti lembaga pendidikan tak dapat menghindar. Ada banyak kekhawatiran, lantaran tuntutan yang begitu mendesak ini belumlah sepenuhnya bisa diadaptasi dalam konteks pendidikan kita yang ada sekarang ini.
Karena itu, tidak heran, ketika di beberapa kesempatan Presiden Jokowi selalu melontarkan kekhawatiran akan perubahan yang terlalu cepat ini sembari meminta agar semua lini harus mempersiapkan bantalan adaptasi. Di tingkat Kemendikbud pun demikian, senjatanya adalah penyerapan model belajar HOTS (High Order Thinking Skill) seturut dengan himbauan agar pendidikan harus lebih mampu mengakses proses digitalisasi dalam pembelajaran.
Disruptive innovation atau inovasi disruptif ini bisa dikatakan suatu kenyataan ketika perkembangan teknologi berbasis digital ini berpotensi merubah struktur sosial secara radikal sebagai efek yang tak bisa dihindari. Dalam hal bisnis itu sudah terjadi, perubahan moda transportasi (Gojek/Grab), munculnya perampingan kerja, hingga perubahan model bisnis yang terintegrasi secara online---perlahan menghancurkan tatanan lama--kesemuanya mengarah pada perubahan model konvensional menuju sistem digitalisasi.
Gejala ini pun bisa dilihat dari fenomena yang muncul ke permukaan. Tak pernah terbayangkan misalnya, gerai-gerai besar (departmen store) semacam 7 Eleven, Matahari, Lotus, dsbnya bisa melakukan perampingan bisnis yang sebagian besarnya tutup. Dan bahkan ada yang berusaha beradaptasi dengan sistem digital dengan membuka model penjualan online. Begitupun tak pernah terbayangkan taksi-taksi konvensional sebelumnya yang menguasai pasar transportasi yang salah satunya bahkan memiliki hingga 29.000 armada, harus tertatih-tatih untuk menyeimbangi model bisnis transportasi berbasis digital seperti Gojek, dll yang praktis tidak memiliki asset armada satu pun. Definisi klasik bahwa kekuatan bisnis ditopang oleh kepemilikan asset yang kuat pun perlahan-lahan harus dikroscek kembali.
Di Amerika, bahkan dikabarkan diprediksi sepertiga mal dikabarkan akan tutup secara perlahan-lahan. Kenyataan bahwa mal-mal seperti halnya dengan gerai-gerai makin sepi. Pola dan cara manusia berinteraksi dan mengonsumsi berubah akibat teknologi yang semakin terdigitalisasi ikut merubah bagaimana pola bisnis dan distribusi itu ikut berubah. Inilah RI 4.0 yang akan menyikat habis tatanan lama perlahan-lahan.
Dalam hal pendidikan ada banyak potensi disruptif akan terjadi. Secara umum ada dua; pertama disruptif dalam hal kelembagaaan dan pengelolaan pendidikan itu sendiri. Dan yang kedua adalah disruptif terhadap ketimpangan kualitas anak didik yang dihasilkan terhadap tuntutan dunia luar yang serba terdigitalisasi.
Dalam hal pengelolaan lembaga pendidikan, disruptif bisa terjdi seperti halnya pada bidang bisnis lainnya. Sistem digitalisasi secara serentak menciptakan pola prilaku konsumen yang sama; serba instan, efisiensi, dan mengedepankan low cost. Kemunculan istilah Massive Open Online Course (MOOC) sejak 2008 adalah contohnya, bagaimana sistem pendidikan bekerja di ranah digitalisasi yang perlahan-lahan menjadi sesuatu yang sulit dihindari ke depannya.
Dalam hal disruptif terhadap ketimpangan kualitas anak didik terhadap tututan luar. Ini terjadi ketika sistem pendidikan yang ada lamban dalam menyerap perkembangan tuntutan di luar. Dan itu akan berdampak buruk bagi anak didik sekarang ini yang bisa dikatakan hidup di masa transisi. Kecakapan yang menjadi domain dari sistem pendidikan konvensional akan kontras atau belum cukup relevan dengan tuntutan kecakapan abad 21 yang sangat menuntut critical thinking dan inovasi yang mewakili tuntutan kebutuhan kecakapan generasi Z yang hidup di era 4.0 ini.
Karena itu dalam konteks ini, sekolah dituntut untuk bisa melakukan perubahan secara radikal juga dalam hal perubahan paradigma pembelajaran sekolah. Sebab selama ini seperti hasil temuan Bank Dunia dalam laporannya Learning to Realize Education Promise (2018), bahwa telah terjadi apa yang disebut "learningcrisis" di tubuh persekolahan sekarang ini termasuk di Indonesia. Yakni ketika persekolahan hadir tapi kosong dalam hal 'pembelajaran'.