Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ruslan

Pemerhati Sosial

Anak-anak "Millennial" dalam Pusaran Media Sosial

Diperbarui: 22 Februari 2018   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lifestyle.kompas.com

Sebuah video kemarin viral. Seorang bocah (anak umur jagung) menyatakan cinta kepada bocah 'pasangannya', dengan melodrama ala sinetron, layaknya orang dewasa. Miris? Ya begitulah. Ini entah untuk kesekian kalinya kita melihat hal demikian viral di media sosial.

Fenoemena tersebut bisa dikatakan untuk ukuran orang dewasa sekarang ini, mewakili suatu bentuk pergeseran perkembangan kepribadian antargenerasi. Mereka mewakili simptom dari fenomena generasi yang disebut generasi millenial. Dalam pusaran media sosial, mereka dua kali lebih cepat mengalami pertumbuhan pola kebiasaan dibanding generasi-generasi sebelumnya, lantaran bukan hanya televisi tempat ia mengadaptasi proses imitasi, terlebih media sosial yang menjadi produk jaman millenial sekarang ini.

Hanya dengan segenggam HP, lalu lintas informasi menjadi kehilangan batasannya. Dunia maya tidak hanya membuat dunia seperti dilipat dalam genggaman manusia. Ia tidak hanya mendobrak batas-batas geografis dan sosial untuk menghubungkan banyak orang, tapi juga ikut menghilangkan batas umur manusia. Orang tua, orang dewasa, remaja, hingga anak-anak; mereka bisa mengakses hal yang sama tanpa melihat umurnya. Inilah kenyataannya.

Sungguh sudah sulit ditemui anak-anak tanpa segenggam ponsel untuk bermedia sosial sekarang ini. Mengingat bahwa hampir semua pengguna ponsel sekarang ini adalah juga pengguna medsos itu sendiri. Apalagi di Indonesia sendiri, sebagai pengguna medsos (FB) terbesar ke-4 dunia, data Kemkominfo menunjukkan dari sekitar 82 juta pengguna internet kita, 95% di antaranya adalah pengguna medsos, dan di dalamnya didominasi berasal dari kalangan anak hingga remaja.

Di masyarakat perkotaan bahkan di pedesaan sekalipun, seorang anak bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya bersenggama dengan medsos ketimbang berinteraksi dengan orang tuanya. Ada ancaman akan pergeseran peran vital keluarga selama ini sebagai pranata pembentukan nilai dilucuti oleh keberadaan medsos sebagai pranata baru. Mengingat bahwa media selalu merupakan pranata pembentukan nilai yang sangat besar pengaruhnya bagi anak lantaran ditopang oleh fleksibilitas audio, teks, hingga visual dalam satu kesatuan. Hal yang tidak dimiliki secara langsung oleh pranata sosial yang lain.

Keluarga ujung tombak

Dalam sejarah kita, meski sejak lama pendidikan yang awalnya berpusat pada orang tua telah bergeser ke ranah publik dengan kehadiran lembaga persekolahan yang ikut mengambil alih sebagian peran keluarga dalam pembentukan kepribadian anak. Namun, pergeseran ini di tengah masyarakat kita tidaklah berlangsung totalitas. Keluarga masih dipercaya sebagai sumber pembentukan nilai anak yang paling utama.

Ada banyak alasan untuk tetap bisa mengatakan bahwa keluarga tetap menjadi tumpuan utama pembentukan karakter ketimbang sekolah. Salah satunya bahwa sistem persekolahan sekarang ini tidaklah benar-benar sama dengan sistem persekolahan pada zaman Ki Hadjar Dewantara misalnya. Model-model persekolahan tradisional yang mengandaikan anak memang benar-benar hidup di dalam sekolah seutuhnya (mirip sekolah berasrama) dari pagi, siang hingga malam.

Dalam kacamata sekolah dulu, anak benar-benar "dititipkan" oleh orang tua kepada sekolah (mewakili kiai-kiai dalam pesantren atau pemimpin sekolah). Meski sekarang, masih ada sekolah yang masih menggunakan model yang sama (sistem boarding school misalnya), tapi persepsi masyarakat juga sudah ikut berubah.

Dulu tingkat pentaqlikan masyarakat terhadap sosok-sosok pemimpin sekolah begitu masih sangat kental, bahkan saking tingginya trust itu, kalaupun ada yang disebut "kekerasan-kekerasan" dalam sudut pandang kekinian seperti dicambuk, dicubit bagi anak mereka pun tetap diterima sebagai konsekuensi logis. Sedang sekarang, hal-hal seperti itu sepertinya sudah dianggap tidak relevan, kita bisa melihat tidak sedikit kasus-kasus demikian berakhir dalam pengadilan.

Selain itu alasan lain untuk untuk tetap menganggap bahwa orang tua tetap menjadi tumpuan pembentukan karakter ketimbang sekolah, adalah kenyataan bahwa sekolah seperti kewalahan untuk menjadikan "pembentukan karakter" sebagai locus tujuan utama. Mengingat bahwa tuntutan skill, target kelulusan dari pemerintah, dan segenap administrasi persekolahan yang menumpuk dibebankan ke guru itu sudah cukup mengambil banyak waktu persekolahan, di tengah waktu sekolah yang hanya rata-rata berkisar 8 jam sehari (meski ini sudah disebut full dayschool).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline