Sejak ditolaknya permohonan AILA (Aliansi Cinta Keluarga) dalam uji judicial review permohonan perluasan norma atas KUHP (khususnya pasal 284, 285, dan 292) ditolak oleh MK. Isu LGBT kembali berseliweran menjadi perdebatan warganet. Tidak sedikit di antaranya menolak dengan berbagai landasan argumentasi sosial terlebih dengan menggunakan perspektif agama.
Padahal kalau kita berkaca pada akar-akar masyarakat kita yang lampau, isu LGBT ini rasanya tidak pernah benar-benar dianggap sebagai suatu persoalan serius.
Saya melihat, bahwa fenomena booming-nya isu ini tidak lepas dari keterkaitan antara diskursus LGBT yang menyeruak di negara-negara Eropa-Amerika yang lalu kemudian diimpor dalam bentuk public campaign disini. Jadi ada semacam ideology cmpaign disini yang tak bisa diabaikan. Kita tahu, bahwa sedikitnya sudah ada lebih dari 20 negara yang memang telah mengakui bahkan melegalkan LGBT. Sedikit di antaranya seperti Spanyol, AS, Kanada, hingga Jerman.
Ada upaya untuk merespon keberhasilan LGBT dari negara Eropa itu seperti membuka jalan pihak pro-LGBT di Indonesia ingin menempuh jalan yang sama, yakni jalan untuk mendapatkan legalitas pengakuan sah dari negara lewat jalan public campaign. Dan disinilah kemudian muncul konstraksi penentangan dari pihak kontra, hingga kemudian puncaknya adalah muncul keinginan dari pihak kontra untuk memperluas norma KUHP agar LGBT harus bisa dianggap sebagai perilaku menyimpang yang dapat dikriminalisasi.
Saya menghindari penghakiman untuk memahami apakah ia (LGBT) adalah penyakit ataukah gejala biologis natural, ataukah ia hanya konstruksi sosial gaya hidup? Semua punya tupoksi kebenarannya masing-masing.
Lalu setelah itu kemudian akar argumen yang berhadapan hanya satu: pihak pro berlandaskan argumen kebebasan semua golongan, dan pihak kontra berargumen dengan menggunakan alasan nilai-norma masyarakat yang dibentur terlebih nilai agama. Di luar dari perdebatan keabsahan data bagi kedua belah pihak untuk masing-masing mendukung argumentasinya akan dampak, ada tidaknya dampak buruk atau tidak, saya rasa mesti dikaji dengan objektif.
Saya sendiri justru menilai bahwa apa yang kita sesalkan dari isu LGBT ini adalah public campaign-nya itu sendiri, yang mau tak mau pasti akan melabrak sturuktur nilai yang telah mapan dianut oleh masyarakat, jadi sudah pasti ada konstraksi pertentangan disitu. Nilai-norma yang dimaksud disini terlebih pada norma agama yang mau tak mau diakui telah menubuh dalam kehidupan bermasyarakat yang luas.
Bisa dikatakan, nyaris tidak ada satupun agama (setidaknya dalam penafsiran arus utama) yang bisa mengakui secara sah LGBT itu sendiri sebagai suatu yang absah. Alasan utamanya bahwa agama cenderung memandang bahwa praktik bersangkutan justru menyimpang dari kodrat manusia itu sendiri, terlebih ketika diperhadapkan pada doktrin-doktrin agama tentang kesucian keluarga dan fungsi suci reproduksi dalam keluraga.
Kita bisa tidak sepakat dengan doktrin agama itu, namun kita tidak bisa begitu saja mengabaikan fakta sosial lain bahwa agama justru sudah menubuh sebagai suatu sumber nilai di masyarakat itu sendiri yang kuat.
Meskipun sebenarnya, seperti saya sebut sebelumnya, bahwa jauh sebelum munculnya "public campaign" ini rasanya keberdaan LGBT tidak pernah kok menjadi persoalan seserius sekarang ini, bahkan di tengah masyarakat yang memiliki jejak kerelegiusan sekalipun. Ini mungkin mewakili adanya akulturasi antara agama dan adat yang terjadi di beberapa masyarakat tertentu.
Saya melihat di beberapa masyarakat khususnya di desa-desa, keberadaan para sebut saja 'waria' sepertinya tidak pernah dipersoalan keberadaannya oleh masyarakat kok. Meskipun secara individu orang bisa tidak bersepakat pada piliha hidup personal itu, namun secara sosial itu tidaklah membuat masyarakat untuk melakukan stigma, pengucilan apalagi kriminalisasi. Mereka justru tetap berbaur tanpa ada sekat normatif.