Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ruslan

Pemerhati Sosial

Munir dan Imajinasi tentang HMI

Diperbarui: 8 September 2016   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: rri.co.id

HMI tentu patut berbangga, memiliki kader militan seperti Munir. Universalitas perjuangannya dalam membela tertindas, menjadi ikon tersendiri. Ia memang layak menyandang penghormatan sebagai pejuang HAM, pejuang kemanusiaan itu sendiri.

Munir yang merupakan kader HMI ini, bagi saya merupakan suatu simbol imajinasi ideal tentang ber-HMI. Di tangan munir agama menjadi hidup dalam ruang-ruang kebenaran yang dibiarkan kosong dan terbungkam. Ia seperti memantik suatu kesadaran bahwa agama adalah kemanusiaan itu sendiri. Kesadaran beragama adalah kesadaran keberpihakan pada kemanusiaan itu sendiri: berpihak pada yang tertindas.

Cak Munir begitu kadang-kadang ia disapa, merepresentasikan totalitas perjuangan kemanusiaan universal. Tepat ketika ia disebut: “Kiri Hijau -- Kanan Merah”.  Pemahaman agama yang ia telaah dalam HMI tidaklah membuat ia larut dalam pentagliqkan buta kelembagaan.  

Ia bukan orang yang mudah terjebak dalam framing benturan kiri atau kanan. Karena itu dalam berpihak dan berjuang ia tak perlu memilah manusia dalam pengkotak-kotakan ideologi. Ideologinya melebur dalam satu praksis: berpihak pada yang tertindas!

Seperti yang sering ia ucapkan, “Kita tidak ada pertentangan agama, kita tidak ada pertentangan etnis, yang ada adalah penyalahgunaan kekuasaan yang harus kita lawan!”

Kekonsistenan Munir terhdap totalitas perjuangan kemanusiaannya membuat ia salah satu di antara banyak kader-kader HMI yang selama ini berjuang diluar garis batas kekuasaan yang muncul ke permukaan dengan ‘popularitasnya’. 

Munir seperti meruntuhkan adagium-adagium yang konstan mengasosiasikan HMI sebagai pelaku, pentagliq, bahkan pemburu kekuasaan itu sendiri dengan segenap pragmatisme yang dilekatkan.

Meski  diakui, bahwa HMI termasuk salah satu organ yang ikut membangun orde baru, tetapi bukan berarti bahwa tidak ada kader HMI yang melawan orde baru dan watak orde baru itu sendiri. Munir salah satunya. 

Perjuangan ia melawan watak orde baru lewat penolakannya  terhadap segala bentuk militerisme, membuat Munir harus rela kehilangan nyawanya. Ia diracun oleh orang tak bertanggung jawab dalam sebuah penerbangannya menuju Amsterdam (Belanda), 7 September 2004 silam.

Ia memang cukup vokal mendorong dan mendesakkan penyeleseian secara hukum kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang banyak melibatkan orang-orang dalam lingkar kekuasaan. Kasus –kasus seperti Tanjung Priok, Semanggi, penculikan 24 aktivis politik (1997-1998), hingga kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, Papua, bahkan sebelumnya Timor-Timur.

Melihat jejak keberaniannya itu, saya teringat suatu pernyataan Pemimpin Revolusi Iran, Iman Khomeini, yang pernah berkata: Bahwa orang yang sudah sampai pada puncak kesadaran beragama (puncak penghambaan kepada Tuhan), maka tidak ada lagi ketakutan yang tersisa dalam dirinya melawan kedzaliman. Saya melihat bayang-bayang teologis itu nyata pada munir. Teror adalah hal yang lumrah ia temui sebelum akhirnya ia dibunuh. “Sekali berarti, sudah itu mati,” kata Charil anwar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline