Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ruslan

Pemerhati Sosial

Menulis dan Dosa Sosial Kita

Diperbarui: 5 Mei 2016   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: thecrowdvoice.com

“Dosa sosial terbesar kaum terpelajar, adalah membiarkan umurnya habis tanpa karya (tulisan)"

Begituah kira-kira, salah satu kritik cerdas yang pantas dilontarkan kepada siapapun yang mendaku diri sebagai kaum intelektual atau kaum terpelajar. Eksistensi tulisan seperti roda yang keberadaannya seperti menyambung “nyawa” dari sebuah harapan. Roda yang tak boleh sama sekali dibiarkan terputus. Membiarkannya terputus seperti membiarkan bangsa kita kehilangan diri sendiri.

Nenek moyang kita sudah cukup apik mewariskan nilai-nilai lewat tradisi bertutur. Banyak cerita-cerita yang syarat dengan nilai mengalir dari mulut ke mulut, yang sudah mulai pudar karena tradisi bertutur tidak lagi sesinkron dengan masa kini. Mengandalkan budaya berututur bukan hanya tidak efektif, tapi memang sudah saatnya bergeser arah.

Kalau saja fase kebudayaan kita pilah dalam tahap perkembangannya, maka kita memahami bahwa tradisi literasi adalah perkembangan lanjut dari tradisi bertutur lisan. Perkembangan sebuah peradaban bangsa, dapat dilihat dari seberapa cepat ia mampu menyesuaikan dan mengikuti pola perkembangan tersebut. Dan itu terbukti negara-negara yang selangkah lebih maju dalam hal peradaban, terkait erat dengan kemampuan mereka menyesuaikan dengan budaya literasi. Mirisnya, bangsa kita masih tergolong lambat, setali dengan rendahnya budaya literasi kita. Dalam beberapa penelitian, kita tergolong bangsa yang sangat rendah dalam tradisi literasi.

Mengikat pemahaman dan kesadaran

Menulis termasuk bukan sekadar perkara personal, tetapi juga persoalan kebangsaan. Tentang ilmu dan ideologi yang harus diwariskan. Tentang sejarah, tradisi ataupun budaya yang tak boleh dibiarkan hilang begitu saja atau dibiarkan diselewengkan. Kata Pram, menulis bukan hanya kewajiban personal, tapi juga kewajiban nasional. Dalam tangan Pram, menulis seperti media untuk mewariskan pemahaman tentang diri bangsa, tentang sejarah yang tak boleh diupakan.

Menulis adalah bentuk perlawanan nyata untuk menolak lupa!

Milan Kundera, seorang sastrawan dunia berkebangsaan Cekoslowakia, yang menulis “Kitab Lupa”, seperti ingin mengatakan, bahwa kematian sesungguhnya adalah “lupa” itu sendiri. Yang hilang sekalipun dalam kematian bukanlah tentang masa depan, tetapi tentang masa lalu. Ini bukanlah melakoli sastra semata, tetapi realitas untuk mendudukan bahwa manusia bergantung pada masa lalu. Tak peduli apakah itu adalah tragedi, apalagi ketika itu menyangkut tentang sejarah bangsa, kasus 1965 misalnya, ide-ide rekonsiliasi misalnya tentulah kita tidak bisa memahami sebagai komitmen untuk melupakan sejarah begitu saja.

Dalam perjalanan bangsa kita, ada banyak realitas sejarah yang kabur dan sengaja dikaburkan. Tak cukup dengan kasus 1965, supersemar dll. Kita yang terlambat dan tak bisa belajar dari sejarah, akan terus berpotensi mengulang sejarah. Dengan menulis, mungkin bisa kembali mengarsipkan banyak memori yang tak boleh dilupakan. Sekali lagi, bahwa, menulis adalah bentuk perlawanan nyata untuk menolak lupa!

Ketika kita menempatkan, bahwa menulis sebagai wujud nyata perlawanan menolak lupa, maka hanya tulisanlah yang bisa menyadarkan kita tentang kita. Ketiadaan alat untuk mengikat nilai, berpotensi akan mempercepat krisis budaya, mendorong lahirnya kita sebagai bangsa yang kehilangan budaya. Hanya bangsa yang kehilangan budayalah, yang mudah didominasi oleh bangsa lain. Generasi masa depan yang kehilangan jati diri, adalah dosa sosial generasi masa kini yang gagal menghidupkan budaya literasi, gagap mengikat hal-hal penting yang harus diwariskan ataupun diluruskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline