Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ruslan

Pemerhati Sosial

Politik dan Pribadi yang Tertukar

Diperbarui: 1 April 2016   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Source picture: http://its-mecool.blogspot.co.id

Pembicaraan tentang politik sebetulnya tidak bisa dikarangkeng dalam kosakata sempit pengamalan tentang perebutan kekuasaan semata, tapi yang paling penting adalah ‘bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk apa, pasca kekuasaan direbut. Disinilah relevansinya untuk mendudukkan fundamental isu politik pada apa yang disebut “gagasan politik”.

Namun, konsepsi-konsepsi itu belum dipahami dan apalagi diterima oleh para politisi, apalagi berharap adanya dimensi pengamalan terhadapnya. Politik masih dibajak sebagai suatu kendaraan hambar tanpa gagasan memadai. Ia hanya medan perebutan kekuasaan semata, memang kata-kata ini bukan lagi hal asing untuk diungkapkan. Segala daya dan kekuatan politik yang tidak mencerdaskan justru menjadi kendaraan utama yang digunakan, prevalensi perdebatan gagasan sangat sedikit dibanding tudingan personal yang mengarah pada isu SARA dan sejenisnya, kasus pemilu DKI contohnya.

Kita bisa melihat dan menyimak realitas, bagaimana momentum politik mencerabut titik kesadaran sebagian kita sebagai subjek politik. Berkaca pada perhelatan ‘panas’ perebutan kursi Gubernur DKI, isu yang terus dihembuskan sebagai senjata politik saat ini, membuat dan menjadikan banyak orang terjebak dalam pribadi yang tertukar.

Orang yang selamanya dikenal karena kecerdasannya tiba-tiba terlihat bodoh, karena pernyataan-pernyataan politiknya. Orang alim menjadi semakin alibi terhadap kekuasaan. Orang yang dikatakan tegas, tiba-tiba menjadi beringas. Orang baik, tiba-tiba terkesan menjadi buruk dalam sekejap. Orang jahat tiba-tiba menjadi baik, tampil dilayar berkhotbah dimana-mana. Kritikus bernas tiba-tiba diam dengan mulut terkunci dan kepala tertunduk.

Realitas bahwa politik sebagai seni mengubah sesuatu, juga bertendensi dalam mencairkan dan mempertukarkan kepribadian dalam sekejap.

Memang diakui bahwa manusia adalah makhluk politik (Zoon Politicon). Segala daya dan tindak-tanduk tidak lepas dari realitas politik itu sendiri. Tapi di tengah dorongan kebangkitan untuk mengambil peran sebagai manusia politik, kita justru mengalami realitas pengkurusan kesadaran akan ide dan gagasan politik. Realitas-realitas politik tidak mampu mengkondisikan suatu kesdaran politik baru, melainkan justru melegetimasi kesadaran lama dalam menampakkan wajah purba politik kita.

Kita dapat berkaca saat kran demokrasi begitu dibuka sejak kejatuhan Orde Baru, partai-partai seperti terhempas bebas dari tempat persembunyiannya, bekerja bersaut-sautan seperti pabrik di awal revolusi industri. Namun, tak cukup dalam hitungan dua dasawarsa, keriuhan berubah sekejap dalam antipati yang berujung pada ketidakpercayaan terhadap partai politik. Itu tak lepas dari kepribadian partai pun yang tertukar, ide-ide dan gagasan-gagasan ideologi terhalau dengan begitu mudahnya, terjebak secara massif dalam pragmatisme politik. Partai nasionalis tiba-tiba terus menggoreng ‘agama’, saat partai-partai agama menjadi semakin ingin menjadi partai nasionalis.

Saat yang sama basis-basis massa dan konstituen partai semakin cair, akibat kebingungan rakyat atas hipokrisi partai. Dari akar yang sama melahirkan buah partai yang “katanya berbeda” tapi hakikatnya sama, dalam balutan warna berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline