Mengenal Freire tentu bukan figur yang bergelut dalam dunia pendidikan konvensional/mainstream. Melainkan karena karya-karya pendidikan yang berbau politik dihasilkan, setidaknya untuk memahami bahwa pendidikan dimata freire adalah sebuah tindakan politik, atau dalam istilah Neil Postman ‘’pendidikan/mengajar sebagai aktivitas subversif’’. Sebuah kegiatan yang tak luput dari politik.
Lewat karyanya seperti politik pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan, memberi gambaran bagaiman pembacaan freire dinegara-negara ketiga dalam pengalamannya di Brasil, Chile dan negara2 Amerika Latin dalam membaca pergolakan politik. Meski konteks Indonesia terbilang berbeda, tapi ada kaidah hukum-hukum sejarah yang universal yang bisa kita tarik untuk membaca perhelatan dan perjalanan transformasi sosial-politik hari ini. Hukum2 sejarah yang dimaksud adalah filsafat sejarah, pokok kajian dimana sejarah tidak dipahami sebagai suatu ilmu yang menjelaskan fenomena, tetapi menganalisa secara dalam kenyataan-kenyataan nomena-substansi yang menggerakkan fenomena yang terangkul dalam istilah hukum-hukum sejarah. Metode pembacaan inilah yang menggiring kita untuk memahami keberadaan prinsip-prinsip dasar yang berlaku dan menggerakkan perubahan sosial melampaui dari sekadar pembacaan spasial.
Kaitannya dengan pemilu yang akan berlangsung—setidaknya kita bisa mengatakan ‘’pemilu’’ adalah momentum transformasi, hanya saja persoalannya menjadi bebas nilai ketika dihadapkan pada pertanyaan lanjutan ‘’ke arah mana transformasi tersebut bergerak?’’ Apakah merupakan sebuah pergeseran progresif, radikal-struktural, atau sekedar kulminasi dan akumulasi dari proses pen-daur-an ulang kemapanan sosial dengan wajah yang berbeda—model ini umumnya terjebak pada penguatan birokrasi politik semata, yang hakikatnya adalah penguatan status quo yang sedari telah melonggar.
Kesadaran Massa
Salah satu gagasan dasar Freire yang terbilang populer adalah ketika ia menjelaskan tentang kesadaran massa yakni kesadaran semi intransitif dan kesadaran penuh. Kesadaran semi intransitif merupakan kesadaran masyarakat ‘’bisu’’, masyarakat yang tak bersuara lantas buadaya politik mereka menjadi mandul (dimandulkan) dan dibentuk oleh pelaku kekuasaan sehingga tercipta ‘’budaya bisu’’ dikalangan masyarakat. Sedangkan kesadaran penuh terbilang sebagai sebuah kesadaran baru bagi masyarakat yang terbentuk dan terkondisikan oleh akumulasi proses sosial yang semakin menindas dan kejam. Kesadaran penuh merupakan proses penguatan kesadaran politik massa akan realitas apa yang sesungguhnya bekerja. Ketidak adilan, kemiskinan, kebodohan, dan kebusukan politik sudah masuk pada proses pembacaan struktural dengan memposisikan secara tepat pelaku kekuasaan (struktural) sebagai biang kerok, kesadaran ini melampaui dari kesadaran semi intransitif yang sekadar menempatkn lakon pokok persoalan hidup sebagai realitas superrealitas bahkan transendental (magic).
Keterhubungan diantaranya berpola linear relasional, yang umumnya proses tranformasi menuju kesadaran penuh merupakan kenyataan sejarah yang hadir seiring dengan semakin ekspansifnya penindasan itu bekerja baik secara halus maupun kasar. Dalam proses perjalanan menuju lompatan kesadaran itu menciptakan kondisi-kondisi masyarakat transisional. Pada perjalanan masyarakat transisional inilah pertentangan akut yang muncul antara penguatan kesadaran politik rakyat dalam menyingkap borok-borok kebusukan kekuasaan,-- bertemu dengan kekhawatiran dan shock pelaku kekuasaan yang mendapati dirinya ‘’tertelanjangi’’ dihadapan rakyat. Terjadi proses ‘’kesalingterkejutan’’ diantaranya yang membuat pelaku kekuasaan menjadi tersandera ‘’dipaksa’’ untuk mengijinkan/membuka kran (meski kecil)transformasi sosial itu berlangsung meski hanya sekadar semu dalam perspektif penguasa. Dalam titik itu pula kesadaran massa akan memposisikan cela transformasi sebagai kekuatan untuk ‘’menghempaskan’’ ekspresi politiknya secara progresif. Konflik terselubung antara penguasa dan rakyat meledak menjadi konflik terbuka—apalagi setelah era sosmed mulai popular (revolusi tunisia beberapa silam menjadi bukti relevansi sosmed dan transformasi sosial bekerja dengan cepat dan efektif dalam penyebaran kesadaran politik secara massif).
Proses tarik menarik kekuatan antara penguasa dan rakyat itulah yang akan menentukan model transformasi sosial yang bagaimana yang akan tercipta. Perimbangan kekuatan diantaranya seperti yang terjadi pada tahun 1998 hanya berujung pada reformasi—sebagai sebuah bentuk penggulingan figur politik semata. Hanya saja reformasi yang pernah terjadi dimata rakyat bukan merupakan akhir tranformasi sosial bekerja. Pembengkakan golput yang justru menguat pasca reformasi yang mencapai angka 30% tahun 2009 sebenarnya merupakan pertanda transisi kesadaran politik itu semakin menguat. Pada titik itulah untuk menghadang lahirnya kesadaran penuh rakyat—yang konsekuensinya adalah transformasi politik radikal-progresif—penggulingan kekuasaan elit-- mengahadirkan politik populisme muncul sebagai sebuah corak politik baru.
Ambiguitas Politik Populisme
Akumulasi ketidakpercayaan rakyat terhadap penguasa merupakan konsekuensi dari lompatan kesadaran masyarakat menuju kesadaran penuh. Pada titik itulah proses pengahadangan kesadaran rakyat menjadikan politik populisme sebagai artificial politik yang tercipta. Kata Freire, kepemimpinan populisme muncul sebagai mediator antara masyarakat yang bergolak dengan elit penguasa, menciptakan model manipulative character (freire,1999: 140).
Manipulasi semacam ini dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Pertama: manipulasi ini suatu opium politik yang tidak dapat ditolak, yang bukan hanya memelihara kesadaran penuh masyarakat namun juga kebiasaan masyarakat yang mudah diarahkan. Kedua: sampai sedemikian jauh manipulasi itu menggiring masyarakat untuk melakukan protes dan tuntutan, yakni sebuah manipulasi politik yang secara paradoksal mempercepat proses yang dilakukan masyarakat untuk membuka kedok realitas. Paradoks ini menimbulkan ambiguitas karena selain manipulatif pada saat yang bersamaan juga menjadi faktor yang memobilisasi demokrasi.
…sesungguhnya gaya kehidupan politik inimengakhiri terciptanya kondisi yang bagi anak-anak muda dan kaum intelektual untuk mencoba berpartisipasi dalam kehidupan politik bersama masyarakat, meskipun hal ini merupakan paternalisme yang manipulatif… dalam keseluruhan ‘drama’ yang kontradikitf dan ambigu ini, gerakan massa menyiapkan dirinya untuk sampai pada kesadaran bahwa negaranya itu dalam kondisi yang belum mandiri. (Freire,199:141 terj).
Pemilu Presiden dan Paradoksial
Klaim para aktivis progresif yang memutuskan untuk terlibat dalam pemilu kali ini, salah satu alasan mendasarnya adalah pemilu kali ini ‘’berbeda’’ sosok jokowi adalah sosok yang ditopang oleh rakyat. Memang pada kondisi transisi ini tingkat partisipasi politik sedikit menanjak seperti yang dikemukakan freire sebelumnya—anak-anak muda akan menjadi objek yang terpikat oleh poliitk populisme—ini cukup relevan dengan konteks sekarang. Penguatan halusinasi estetik yang menjangkiti anak muda sekarangseolah terlibat dalam proses tranformasi sosial—meski hanya berujung dan berpangkal pada pernyataan frontal lewat status fb,twitter dalam mendukung dan mencaci lawan politiknya—setidaknya ekspresi politik itulah yang muncul sebagai fenoemna politik.
Politik populisme yang menguat pada figur jokowi hari ini memang menjadi sesuatu yang baru dalam wajah politik kita sampai hari ini. Kekuatan sentral ada pada figur yang umumnya ditopang oleh kekuatan massa yang cenderung cair—massa-massa yang umumnya terangkul dari berbagai kelas yang ter-senggol dengan altruisme frontal. Sehingga dari kacamata politik posisi figur populis menjadi rapuh, sebab tidak ditopang secara kuat oleh massa ideologis yang terorganisir—belum lagi posisi kelas jokowi yang merupakan pengusaha konglongmerat mebel kayu dengan kekayaan 29 M telah jelas dimata rakyat dari kelas sosial mana dia (status prbawo sudah jelas pada posisi ini). Hasil survey yang menyimpulkan suara jokowi sedikit demi sedikit terampas oleh prabowo menjelaskan konsekuensi dari politik populisme itu sendiri.
Proses kolaborasi ideologi atas nama koalisi, ataupun kolaborasi kelas menciptakan kolaborasi idelogis ini, hanya menciptakan kolaborasi kepentingan—yang hanya mempercepat kontradiksi-kontradiksi mengemuka. Bagaimana tidak, menjanjikan atas nama penegakan HAM disatu sisi juga tersandung dengan masalah HAM masa lalu, atau paling tidak dikelilingi oleh mantan (terduga) pelaku HAM masa lalu. Menjanjikan keamanan kelas yang sama didepan kelas yang bertentangan secara akut: bukankah itu merupakan sebuah lelucon—atas nama status quo?.
Tugas kita (menurut penulis) adalah bagaimana mendorong masyarakat agar sampai pada apa yang disebut freire sebagai kesadaran penuh. Bukan justru ikut menghambatnya atas nama janji surgawi ala populisme. Sebab masyarakat tidak akan bebas dan merdeka ketika mereka masih ‘’dipaksa’’ untuk hidup dan bekerjasama dalam suatu sistem sosial yang menjadi sebab ketertindasannya. Rakyat harus menjadi subjek politik itu sendiri—dan hanya bisa terjadi ketika massa telah berada diambang kesadaran penuh—tugas politik kita adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan itu dapat lahir dengan memupuk kesadaran politik, menelanjangi borok-borok politik yang terus ingin disembunyikan, mengubah ke-galau-an politik pragamatis menjadi politik ideologis—meski itu tidak semudah membalikkan telapak kaki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H