Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ruslan

Pemerhati Sosial

Aku Lupa Mencipta..!

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Halusinasi? Mungkin iya, mungkin tidak..

Lantas Bagaiamana tuan dapat meyakini bahwa apa yang tuan lakukan beberapa hari yg lalu, yang sekarang dan yang akan datang benar-benar sebagai sebuah kenyataan yang pasti? Bagaimana meyakinkan bahwa kenyataan tuan ini adalah kenyataan sejati, dalam ruang sadar yang paling hakiki.

Tak terbetikkah dalam akal tuan: Bayang-bayang kepuraan sewaktu-waktu dapat membangunkan tuan dan tersadar dalam senja nyata dibalik tumpukan-tumpukan kertas pertanda skripsi belum rampung, halusinasi dari letih memikir tentang masa akan datang? Atau mungkin pula bayang bayang hidup akan terbangun dikala disekeliling suara tangis menyeruak telinga perlahan-lahan sembari sedikit demi sedikit serapan kesadaran kembali mengingatkan kepiluan beberapa menit yang lalu yang tercinta telah tiada dalam kepergian yang abadi?

Atau jangan-jangan fantasi alam bawah sadar yang bekerja tentang semirealitas itu hilang dalam sekejap disaat bola mata yang sayu melihat secarik kain putih kemerah-merahan melekat terlilit dalam sekujur tubuh diselimuti nyeri dan rasa sakit yang bertahap menusuk sambil mengingat secara perlahan pristiwa dijalan raya tadi subuh.?. ataukah mungkin disaat kabut telah lenyap, gemercik air semakin ngiang terdengar ditengah hamparan rumput kehijauan-hijauan, dibawah langit yang kebiru-biruan, dibalik deret gunung menyaksikan burung 2 brkicau, sambil terheran-heran melihat sekujur tubuh tak tampak sedia kala, yang terlihat hanya cahaya ronan nan kilat bak kristal membungkus tubuh sambil terkejut dalam sekejap disaat ruang kesadaran tak menemukan jawaban sambil berlalu dan berdiam dalam satu pertanyaan: apakah ini pertanda jiwa telah berpisah dari inangnya?.

Tak ada yang bisa memberi jawaban yang pasti dikala gelapnya redupan cahaya membisu, ditengah keramaian manusia yang tak hidup—mati dalam tumpukan sampah yang kian membusuk, dalam alunan aliran air yang terkesima dalam penghambaan buta. Satu-satunya kesadaran paling hakiki yang menyeruak dalam sadar adalah keterkejutan, dan ketersesatan dari alam yang hakiki, berlumpur dalam ketakberdayaan sambil meronta dalam pengaharapan yang tak pasti.

Bayang-bayang masamuncul dalam ketidakpastian, dikala hempasan bumi menghantarkan dikau di sebuah jalan yang kelihatan tak bertepi, dalam sebuah benteng yang tak berpenghuni, dalam sebuah kehidupan yang tak hidup. Sesekali suara mahkluk menyeruak muncul dalam imaji dalam tawa nan canda berlalu dari suatu rutinitas kerutinitas selanjutnya dalam siklus keabadian yang tak berhenti. Dikala malam berganti siang engkau kembali dalam mimpi yang didalamnya engkau menyaksikan bahwa engkau bermimpi dalam mimpimu. Dalam mimpimu engkau terbangun dlam keterbangunan mimpi. Ketika teriakan yang tak terucap engkau sadar akan keberadaan mimpimu, tapi disaat engkau bangun kehidupan telah membawamu kembali seperti dalam mimpi dimana engkau menyaksikan dirimu diam dan tak berkata dikala waktu engkau ingin berteriak mengekspresikan segala macam wujud keresahan yg telah membusuk dalam jiwamu.

Halusinasi? Mungkin iya, mungkin pula tidak. Bagaimana meyakinkan diri? Bukti apa yang seharusnya ada untuk membuktikan keberadaannya? kalau keberadaan halusinasi saja masih ilusi?

Dalam sebuah titik lokus yang tak merapat dalam bumi, dikau bertahta dalam sebuah fantasi tentang kehidupan. Dalam waktu yang pendek bagai dalam sekejap kehidupan yang engkau sebut hakiki berjalan dalam sebuah kahayal. Disana engkau menyaksikan dirimu yang bertumbuh dalam lika-liku hidup yang kadang tak berpihak. Sambil termangu dan tersenyum engkau termangguk menyaksikan dirimu hidup dalam dunia semi-realitas: dunia maya yang nyata, berfantasi dalam khayal, berimimpi dalam imajinasi tetang sesuatu yang ideal, dalam sebuah perdebatan-perdebatan yang tak berpangkal tak pula berujung, iya..! itu tentang dunia tanpa penindasan, dunia tanpa perbudakan, dunia tanpa kejahatan hingga dunia tanpa tuhan.

Tak ada sesuatu yang ayal selain bahwa wujud kebebasan betul-betul muncul dalam keabadian, ketika khendak muncul dan meluncur secara bebas. Sambil menggerutu dalam kebingungan untuk terus mencipta. Mencipta? Iya…, mencipta kenyatan-kenyataan artificial yang diperrealitaskan bagai drama nan hero, dikala sang diri nan elok bagai raja dalam tahta yang suci berkelindang dalam perjuangan menguras air mata, menyentil hati, hingga menusuk-nusuk jiwa nan perih tentang lika-liku pangeran mendapatkan sang perih putri khayal. Namun, imaji yang engkau cipta sendiri berakhir tragis ditanganmu sendiri, engkau memilih menderita dalam kematian sebelum berjumpa dng sang perih puteri khayal. Entah apa yang membuat menderita adalah pilihan yang menenangkan bagimu. Dari upperrealita hingga hipperrealitas senandung hidup terus menerus bergulir: dari cerita sang perih puteri khayal, derita kerinduan anak yang merenggut jiwanya dalam perjalanan sampai derita cinta tak tergubris seorang budak dihadapan tuhannya.

Itu bagai satu-satunya dunia yang nyata yang engkau yakini. Halusinasi menjadi satu-satunya kenyataan yang engkau terima sebagai kehakikian, satu-satunya keberadaan yang mengakui keberadaan dirimu yang bebas, satu-satunya keberadaan surgawi yang engkau temui, hingga satu-satunya keberadaan yang telah mengangkat kederajatanmu dalam tahta langit dari kepiawaianmu dalam mencipta. Ia adalah dunia ide yang sempurna: dimana manusia bisa sampai dalam sebuah pencapaian tertinggi tanpa melewati norma-norma sakralitas suci yang disucikan manusia dalam belenggu-belenggu jiwa tentang pengharapan tak terbatas, tentang kesemestaan khalik meski keberadaanya pun tanpa sadar muncul dalam imaji yang sama. Kenyataan bahwa Jalan-jalan kebenaran manusia tanpa sadar telah jauh dituntun dalam kotak-kotak suci yang mewujud dalam imajinasi. Sebuah kenyataan yang dapat mencipta ketakterbatasan, dua bulir dapat hidup dari satu batang sekalipun. Dengannya manusia Berbicara tentang tujuan hidup, bergunjing tentang utopia, ber-sosialita tentang masyarakat suci, bedebah tentang masyarakat tanpa kelas dalam pengharapan yang berbingar-bingar. Dalam ketaksadaran kita berpijak, dalam fantasi kita tetap melangkah, dalam khayal kita bersorak, dalam imaji kita mencipta, dalam mimpi satu-satunya tempat kita merasa hidup.

Kenyataan yang bagaimanakah sebagai sesuatu yang ideal bagi tuan selain dikala engkau menyaksikan dirimu muncul secara utuh dalam satu khendak yang pasti? Dan kenyataan seburuk apakah yang tuan rasa selain dikala engkau mempersaksikan dirimu bak pion dari khendak yang tercerabut sampai ke akar? Dalam derita yang menghampiri dikala apa yang engkau sebut khendak menolak? Di kala sakit memaksa jasad dan jiwamu layu dan lemas tak berdaya dikala engkau tetap dalam kredo bahwa engkau adalah entitas yang bebas dalam khendak?.

Sudahlah,,! Ini sesungguhnya telah berlalu: perjalanan ini telah terkunci dalam tulis dilembar lauful mahfudz..! engkau telah ada dalam keabadian sejak keabadian mengenal keberadaan. Bukan lantas engkau memilih turun apalagi dipaksa turun kedalam sangkar hidup yang menjeramu. Engkau hanya butuh untuk terbangun dalam kehakikian disaat itu engkau akan mendapatkan kesadaran keabadianmu dalam penghakiman akan mimpimu yang sejenak dalam sekejap tentang kehidupan. Disaat engkau sadar engkau akan berkata: aku lupa mencipta..!

Disaat itu pula engkau akan merasakan kesunyian, kesepian karena kesendirianmu atas ke ber-sadaranmu. Tanpa engkau sadari bahwa keego-anmu yang diper-esa-kan itu tak lain dan tak bukan adalah imaji dari kedirianmu sendiri. Engkau mengaku tak bertuan tak pula berhamba, engkau mengaku memaujud dalam trilogi tak terbatas, disatu sisi engkau mengaku bukan akibat, tak pula engkau mendaku sebagai sebab, engkau penuh kontradiksi tapi tak menampakkan pertentangan. Menolak kesunyian tapi tak butuh keramaian?.

Lihatlah dalam imaji hayal yang tuan cipta: betapa banyak derita yang tampak, betapa banyak buruk muncul dikala tuan mendaku diri sebagai pemilik kebaikan. Pendakuanmu bagai cahaya merrealitaskan gelap bak bayangan, engkau—aku dan mimpi, dalam khayal kita bersanding—bahwa kita sama—sebagai pencipta alam surgawi—tapi dalam nyata kita beda, engkau cahaya terang yang tak tampak dipelupuk mata dikala keburukan merajalalela dalam bayang yang gelap. Engkau bersembunyi dalam nyata, memperdengarkan bisikmu bahwa aku ada sambil dalam diam engkau berkata yang sama denganku: aku lupa mencipta..!

02:02

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline