Aku adalah santri pondok pesantren Al Islahiyah Singosari Malang. Aku sudah menginjakkan kaki di sini, di kota santri selama 6 tahun. Perjalananku nyantri di sini tidaklah sangat mudah, banyak lika liku kehidupan yang telah kulalui. Aku dilahirkan di Kota Pahlawan. Iya, Kota Surabaya.
Awal mondok pada tahun 2015. Gembira, senang sedih entahlah tak bisa kuungkapkan dengan perasaan pada waktu itu. Aku tidak seperti teman temanku yang sama sama berstatus santri baru, yang masih menangis, ditemani oleh kedua orang tuanya dan sebagainya. Lain dengan diriku yang hanya diantarkan dan dipasrahkan ke Ibu Nyai Pengasuh Pondok, lalu kucium tangan kedua orang tuaku. Pada saat itu, hari dimana pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pesantren, sebuah tempat pengganti rumahku. Banyak orang menyebutnya dengan kawah candra dimuka, artinya dimana tempat seorang dikurung dan banyak diberi pelajaran. Dikurung bukan berarti apa, tetapi di beri banyak pelajaran, diberikan banyak pelajaran tentang kehidupan dan mentaati peraturan peraturan yang berlaku. Agar menjadi insan yang mandiri, insan yang berintelektual. Dan saat itulah aku minimba ilmu agama dan kehidupan di pesantren. Tempat yang tenang, sejuk dan tentram.
Suka duka kehidupan sudah kulalui, banyak cobaan yang telah kuhadapi. Pada tahun pertama di pesantren aku sudah dihidangkan cobaan oleh Yang Maha Kuasa. Aku sakit parah, iya sakit tipes, demam berdarah dan kista. Dan pada akhirnya aku harus dirawat yang lebih layak, dan di bawah pulang. Sebelum ke rumah, aku sudah dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya. Selama 2 minggu aku dirawat di rumah sakit, dan dokter bilang aku sudah boleh pulang. Kemudian aku pulang bersama kedua orang tuaku ke rumah.
Kata dokter aku harus sering untuk control ke rumah sakit dan aku diizinkan untuk tidak balik ke pesantren dulu dikarenakan kondisiku yang kurang stabil. Sudah berbulan bulan aku di rumah, rasa bosen di rumah, rindu pessantren, rindu teman teman baruku pasti menyelimuti diriku. Hingga akhirnya aku sudah diperbolehkan untuk Kembali ke pesantren. Gembira dan terharu itulah yang kurasakan pada saat mengetahui kabar ini. Aku sudah kembali beraktivitas di tempat yang kurindukan ini, iya pesantren.
Aku melakukan aktivitas sehari hari dengan jadwal yang sudah menjadi rutinitas santri. Mulai dari bangun pagi untuk berebut shof depan jamaah shubu, mengaji, ro'an, tadarus, hafalan, muhafadhoh dan sebagainya.
Lika liku kehidupan di dalam pesantren telah kulewati begitu saja selama 6 tahun. Mulai dari belajar metode Al Qur'an Bil Qolam, belajar banyak kitab kuning, belajar berteman, ketiduran pada waktu sang guru menerangkan, melanggar peraturan, jatuh terpeleset dan lain sebagainya. Namun ditahun yang terakhir ini bukanlah puncak atas kesuksesanku, tetapi lebih panjang lagi untukku menuju cita citaku. Dan di tahun terakhirku ini, aku dihidangkan cobaan lagi oleh Yang Maha Kuasa. Aku sakit lagi. Dan aku harus dioperasi usus buntu. Lagi lagi aku pulang untuk malakukan operasi. Di tahun yang terakhir ini sebenarnya banyak imtihan yang harus aku ikuti sebagai syarat kelulusanku. Tetapi dengan kondisi yang kurang memungkinkan aku untuk mengikutinya, dan akhirnya aku tetap bisa mengikuti imtihan secara online di rumah. Masih dengan yang sama, aku tidak diperbolehkan dokter untuk kembali ke pesantren, karena aku harus control selama berbulan bulan.
Pada saat waktuku kurang 2 bulan di pesantren, aku kembali dan aku masih berusaha meningkatkan ilmuku supaya berguna dan bermanfaat kelak. Dari pesantren inilah aku mengerti arti sebuah kekeluargaan dan kehidupan. Dan dari sinilah tahun terakhirku menyantri di pesantren, aku menemukan seorang yang benar benar teman, bahkan lebih dari saudaraku sendiri. Iya, saudara tak sedarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H