Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR kini menjadi sorotan publik yang tiada habisnya melayangkan kritik kepada mereka. Sebuah fenomena demokrasi dimana publik sudah tidak percaya pada mereka para legislator yang telah di pilih melalui mekanisme bernama pemilu. Publik pun menilai bahwa apa yang DPR kerjakan tak lebih dari pemborosan uang yang terdiri dari sinetron paripurna, lawakan pleno, sinetron rapat pimpinan, dagelan gedung dan tunjangan baru, hingga telenovela kunjungan keluar negeri.
Sikap kritis publik pun ditanggapi DPR dengan berjuta alasan retoris, tetapi publik kini sudah dewasa dan matang. Komunikasi indah sudah tidak lagi menjadi senjata yang jitu untuk melunakkan hati publik, justru sebaliknya, publik semakin mencerca anggota DPR dengan berbagai justifikasi yang -menurut penulis- sangat sadis. Tapi mungkin untuk sebagai kalangan yang sudah muak dengan DPR, mereka mungkin akan mengatakan, "yah tidak apa-apa menghina DPR, mereka memang layak mendapatkan itu".
Kondisi saat ini memang sangat dilematis, anggota DPR yang ada bekerja bukan dengan bidang keahlian mereka. Sehingga mereka perlu belajar dari awal lagi ketika mereka menempati sebuah komisi tertentu di DPR. Bidang keahlian bukan selalu harus bidang yang terkait hukum dan tata perundangan, setidaknya seorang anggota DPR perlu menguasai bidang kerja di komisi tempat mereka di tempatkan. Selain itu, masih banyak juga anggota DPR yang tidak begitu aktif di dalam rapat dan hanya menjadikan sidang DPR sebagai kesempatan untuk membuka gadget electronic termutakhir yang telah mereka miliki.
Masih belum pedulinya rakyat mengenai kapasitas diri anggota DPR, rendahnya kualitas kaderisasi partai hingga tidak bijaknya penempatan komisi yang dilakukan partai, ditambah pula krisis integritas dan kepercayaan publik yang dimiliki oleh individu anggota legislatif membuat akumulasi kebobrokan DPR semakin bertambah. Terkadang, sebagai seorang warga negara, penulis seringkali mempertanyakan "bagaimana mungkin beliau-beliau ini bisa menjadi anggota DPR ?".
Tak bisa dipungkiri bahwa meningkatkan kapasitas kelembagaan DPR adalah pekerjaan besar yang amat sangat menantang. DPR membutuhkan kekuatan untuk mengatur dan menata agenda serta program kerjanya. Untuk itu DPR bisa saja bermitra dengan berbagai lembaga/badan/organisasi pendukung yang dapat memberikan DPR data dari hasil analisis atau kajian, serta fakta lapangan yang akurat sehingga DPR dapat mengambil keputusan dengan bijak. Lembaga pendukung ini dapat juga sebagai penyeimbang kekuatan politik di DPR yang terlalu dominan sehingga mengesampingkan aspek akademis maupun realita rakyat yang ada.
Anggota DPR tak bisa dipungkiri adalah teladan bagi seluruh rakyat Indonesia, bila mereka bekerja secara profesional akan dapat memberikan kesempatan bagi mereka juga untuk kembali memikat hati dan kepercayaan rakyat. Profesionalitas ini terdiri dari etos kerja, kedisiplinan, visioner, kerja keras dan cerdas, serta yang terpenting adalah integritas yang membukus profesionalitas menjadi sebuah hasil kerja yang optimal.
Penguatan kapasitas kelembagaan DPR tak bisa lagi ditunda, bila memang anggota DPR 2009-2014 tidak bisa membuktikan bahwa apa yang masyarakat sampaikan adalah salah atau sekedar justifikasi penuh emosi. Maka akan menjadi ancaman besar bagi demokrasi Indonesia, dengan sebuah konsekuensi turunya tingkat partisipasi publik dalam pemilihan umum di Indonesia. Dan bila kondisi ini telah terjadi, maka akan sangat memungkinkan rezim atau orde kekuasaan baru akan lahir. Dimana eksekutif terlalu kuat dan legislatif hanya sebagai boneka dari eksekutif untuk melanggengkan kekuasaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H