Lihat ke Halaman Asli

Toxic Positivity: Stop Merasa Harus Selalu dalam Positive Vibe

Diperbarui: 16 Juni 2023   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Konsep positivity cukup populer belakangan ini, terutama di sosial media. Namun, masih banyak orang yang salah paham dalam penerapannya, terutama di lingkungan sosial. “Jangan nangis, itu gak nyelesain masalah”, “Jangan sedih, semuanya akan baik-baik aja”, “Jangan sedih, liat sisi positifnya aja”. Kalimat-kalimat ini pastinya sudah sering kita dengar atau kita ucapkan. Namun, tanpa sadar, kalimat-kalimat ini tidak membantu atau meningkatkan motivasi seseorang dalam menghadapi masalahnya. Terkadang kalimat-kalimat ini malah memperburuk, mengintimidasi dan menambah beban seseorang yang sedang menghadapi masalah.

Kampanye berlebihan mengenai positivity ini dikenal juga dengan sebutan toxic positivity. Toxic positivity adalah kepercayaan akan konsep positif yang berlebihan, menuntut seseorang untuk selalu positif di segala keadaan dan mengabaikan emosi negatif (Kojongian, dkk., 2021). Menurut Nurul K. Hidayati, "Toxic positivity ini adalah ketika sikap positif itu kemudian digeneralisasikan ke semua situasi dan mengabaikan perasaan serta emosi negative yang ada. Tidak dirasakan, didengarkan, bahkan tidak diakui keberadaannya."

Penting untuk dapat membedakan antara pesan yang dapat membantu meningkatkan semangat seseorang dan pesan yang mungkin terlihat positif tetapi mendorong emosi yang tertekan dan dapat sangat berbahaya bagi pemulihan dari emosi negatif dalam jangka panjang. Bahaya toxic positivity tidak terbatas pada efek merugikan kesehatan mental saja,tetapi juga dapat digunakan untuk memelihara penindasan dengan membuat orang mengabaikan penindasan yang sedang terjadi dan mendorong mereka untuk selalu "bersikap positif" (Upadhay, dkk., 2022).

Tentu saja toxic positivity ini memberikan dampak negative bagi orang yang terjebak di dalamnya, yaitu:
1.Kesulitan mengungkapkan emosi yang sebenarnya sedang dirasakan.
2.Emosi-emosi yang tidak diungkapkan ini akan menumpuk yang di mana akan memicu terjadinya gangguan mental seperti, anxiety, PTSD, dan gangguan lainnya.
3.Mengabaikan hal-hal buruk yang terjadi disekitarnya, seperti mengabaikan perilaku kasar yang diterima dari orang-orang terdekat dan mudah memaafkan mereka didukung pemikiran positif bahwa nanti mereka akan berubah.
4.Merasa rendah diri bila terlihat tidak baik-baik saja di hadapan orang lain.

Saat kita memberikan pesan atau motivasi yang menurut kita positif kepada orang lain, mungkin tanpa sadar kita mengucapkan hal-hal yang mengandung makna yang negatif. Oleh karena itu, kita perlu memahami ciri-ciri toxic positivity agar tidak merasakan atau menjadi pelakunya.

Beberapa hal yang menandakan seseorang sedang terjebak di dalam toxic positivity, antara lain (alodokter.com):
1.Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya sedang dirasakan, terutama perasaan negatif.
2.Terkesan menghindari atau membiarkan masalah yang sedang terjadi.
3.Merasa bersalah ketika merasakan atau mengungkapkan emosi negative dalam diri.
4.Mencoba memberikan semangat atau motivasi kepada orang lain, tapi sering disertai dengan penyataan yang seolah meremehkan, misalnya mengucapkan kalimat “jangan menyerah, begitu saja kok tidak bisa”.
5.Sering mengucapkan kalimat yang membandingkan diri dengan orang lain, contohnya, “kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita dari kamu”.
6.Melontarkan kalimat yang menyalahkan orang yang tertimpa masalah, misalnya ‘Coba, deh, lihat sisi positifnya. Lagi pula, ini salahmu juga, kan?”

Agar terhindar dari toxic positivity dan dampak buruknya, serta tidak menjadi sumber toxic positivity bagi orang lain, kamu bisa mencoba untuk melakukan beberapa tips berikut (alodokter.com):

1.Rasakan dan kelola emosi negatif
Emosi positif maupun emosi negatif merupakan hal yang normal untuk dirasakan oleh setiap orang. Menahannya, mengabaikannya atau menyangkalnya bukanlah tindakan yang tepat. Lebih baik untuk menceritakannya pada orang yang dipercaya dan mampu memahamimu. Bisa juga menulisnya di buku diary.

2.Coba berusaha untuk memahami, bukan menghakimi
Sumber emosi negatif bisa di dapat dari berbagai hal. Mulailah untuk memahami emosi negatif yang dirasakan dan mencari cara untuk mengatasinya. Bila mengetahui orang lain merasakannya, jangan langsung hakimi atau menilainya. Biarkan dia bercerita dan meluapkan emosinya. Dibanding menghakimi, mulailah untuk berempati.

3.Hindari membanding-bandingkan masalah
Jangan selalu membandingkan masalah yang kamu alami dengan yang dialami orang lain. Kemampuan tiap orang dalam menghadapi masalah tidaklah sama. Daripada sibuk membanding-bandingkan, lebih baik mencari solusi untuk menyelasaikan masalah yang sedang kamu alami atau menghibur diri agar perasaan lebih baik.

4.Mengurangi Penggunaan Media Sosial
Di media sosial, orang-orang umumnya memamerkan sisi positif hidupnya tanpa menceritakan sisi negatif dan prosesnya. Hal ini tentu saja akan membuat kamu sering membandingkan dirimu dengan mereka. Mulailah mengelola akun media sosialmu dan mengurangi durasi penggunaannya. Lebih baik memperbanyak waktu melakukan hal-hal yang lebih produktif seperti menyelesaikan pekerjaan yang tertunda, meningkatkan kemampuan diri atau melakukan kegiatan-kegiatan yang disenangi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline