Self-harm Sebagai Pelarian
Oleh
Annisa Umairah, Dina Nazriani
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Kasus self-harm belakangan ini sedang marak-maraknya. Kasus ini cenderung dilakukan oleh kalangan anak muda, mulai dari remaja hingga pada fase dewasa awal. Ada pula beberapa bentuk dalam melakukan self-harm, ada yang melakukan cutting (melukai tangan atau bagian badan manapun dengan menggunakan pisau atau benda tajam lainnya), memukul-mukul atau bahkan mebenturkan kepalanya ke dinding, dan masih banyak lagi. Seseorang melakukan self harm dikarenakan untuk menghilangkan perasaan frustasi, tertekan, stress, dan berbagai macam emosi lainnya. Veague dan Collins (2009) menyampaikan bahwa remaja adalah kelompok yang berisiko tinggi melakukan DSH dan bahkan lebih tinggi kemungkinannya daripada kelompok dewasa. Data terkini juga menyebutkan bahwa ada sebanyak 20,21% remaja yang pernah melakukan perilaku DSH di Indonesia dan 93% adalah remaja perempuan (Faradiba, Paramita, Dewi, 2021).
Seseorang yang melakukan self harm adalah seseorang yang menyakiti dirinya sendiri, namun tanpa ada niatan untuk melakukan bunuh diri atau yang biasa disebut suicide. Self harm dan suicide sendiri adalah dua hal yang berbeda namun orang yang melakukan atau bahkan pernah mencoba untuk melakukan bunuh diri biasanya memiliki riwayat self harm. Maka dari itu kita harus waspada jika ada teman atau kerabat kita melakukan self harm. Self harm pula dilakukan untuk menyakiti atau melukai diri sendiri dengan tujuan untuk memindahkan rasa sakit psikis (yang tak terlihat) ke rasa sakit fisik.
Sebagai salah satu cara untuk mengalihkan perasaan-perasaan negatif tersebut, beberapa orang memilih untuk melakukan self harm. Jika ditanya mengapa harus dengan self harm, maka mereka biasanya menjawab agar mereka merasa puas, lega atau bahkan lebih tenang, tak urung setelah melakukan self harm akan ada rasa menyesal dalam benak mereka. Self harm dalam DSM-V disebut dengan self injury. Menurut Martinson (1999) terdapat 4 faktor penyebab individu melakukan self injury/harm antara lain adalah; 1) Faktor keluarga, disebabkan oleh kurangnya role model untuk mengekspresikan emosi pada masa anak-anak dan kurangnya komunikasi antara anggota keluarga, 2) Faktor pengaruh biokimia, adanya masalah khusus dalam system serotogenetik otak yang mengarah pada peningkatan impulsive dan agresi, 3) Faktor psikologis, umumnya karena merasakan kekuatan emosional yang tidak nyaman dan sulit untuk mengatasinya, 4) Faktor kepribadian, saat menghadapi masalah, individu yang memiliki tipe kepribadian introvert lebih cenderung melakukan perilaku tersebut.
Ada pula alasan mengapa banyaknya anak pada masa remaja yang melakukan self harm karena banyaknya perubahan yang harus dihadapi individu pada masa ini. Menurut Freud, masa ini dipandang sebagai masa yang penuh konflik, karena individu tidak mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi, sering kali akan mengalami masalah atau konflik. Sehingga, tak jarang individu-individu tersebut mengalami tekanan atau stres. Ketidakmampuan remaja dalam mengatasi masalahnya menimbulkan emosi negatif dan efek negatif dan ketika emosi negatif ini tidak terkendali, remaja sering kali cenderung melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri, seperti melukai diri, mengonsumsi narkoba, melakukan penyimpangan sosial, dan lain sebagainya (Latipun & Notosoedirdjo, 2014; Jans dkk, 2012).
Bagi beberapa individu Perilaku tersebut dilakukan individu sebagai cara unruk melampiaskan emosi negatif yang mereka rasakan, yang dimana emosi tersebut sulit untuk diungkapkan menggunakan kata – kata. Self injury juga bisa terjadi karena ingin melupakan pengalaman traumatis di masa lalunya yang penuh dengan kekerasan yang pernah terjadi di dalam kehidupannya. Dengan menyakiti diri sendiri, individu merasa bahwa rasa sakit fisik itu dapat menggantikan rasa sakit yang sedang dialaminya.
Referensi:
Gondohutomo, A. (2023). Fenomena Self Harm Di Kalangan Remaja.