Bagi suku karo merga menjadi sesuatu yang sangat penting, selain sebagai identitas, karena disematkan di akhir nama, merga juga sebagai penentu kedudukan kita dalam mencari hubungan kekeluargaan ataupun kekerabatan melalui proses ertutur. Dengan ertutur, kekerabatan seseorang dapat ditentukan dengan seseorang yang lainnya sekalipun silsilah mereka sudah jauh berkaitan. Ertutur bertujuan menjelaskan apa hubungan keluarga di antar dua orang yang nantinya menentukan bagaimana salah satunya menyebut/memanggil yang lainnya. Panggilan yang dimaksud apakah dengan nama atau panggilan lain seperti mama, mami, bibik, kila, silih, bapak, mamak/nande dan seterusnya.
Desa Suka Nalu terdiri 3 lingkungan, yang pertama, lingkungan/kesain, yakni: rumah Julu, sitepu rumah ukir, kesain rumah pecu ialah sebuah jalan pertama masuk ke suka nalu. Suka Nalu ini pertama kali dihuni oleh merga Sitepu. Merga Sitepu di Suka Nalu ada 3, yang di mana dalam bahasa karo 3 terpuk, 3 kesain(dusun).
Hubungan adat dengan pemerintah di desa suka nalu terkadang tidak dapat dibedakan karena segala sesuatunya pengelolaan desa ini pemerintah yang di atas namakan kepala desa sebagai fasilitas, dan sebagai pembuka desa, semua yang berkeputusan/berwewenang ialah rakut sitelu(Sitepu); Sitepu rumah Julu, Sitepu rumah ukir, Sitepu ruma pecu, merekalah disebut sebagai Raja di desa suka nalu. Sampai sekarang segala keputusan pemerintah harus melapor dan musyawarah dengan mereka-mereka(merga sitepu) di desa suka nalu.
Hal itu dilakukan karena sampai sekarang pemerintah tidak mau dan tidak berani melakukan atau membuat keputusan sebelum disetujui oleh merga sitepu kecuali ada surat dari atas. Dari wawancara yang dilakukan penulis, narasumber mengatakan bahwasanya desa suka nalu sedang menyusun RAPB desa. RAPB tidak berani menyusun jika tidak disetujui oleh 3 terpuk (merga sitepu), sitepu ruma Julu, sitepu ruma ukir, sitepu rumah pecu.
Dalam masyarakat Karo, pernikahan semerga, yaitu pernikahan antara dua orang dari merga (klan) yang sama, umumnya dilarang. Tradisi ini telah dipraktikkan selama berabad-abad dan memiliki dasar yang kuat dalam adat dan kepercayaan mereka. Alasan utama larangan ini adalah untuk menghindari pernikahan kerabat dekat, yang berpotensi meningkatkan risiko cacat lahir, penyakit genetik, dan komplikasi kesehatan lainnya pada keturunan. Selain itu, pernikahan semerga dianggap dapat mempersempit lingkaran perkawinan dan memperkuat struktur patriarki dalam masyarakat Karo.
Aturan larangan pernikahan semerga ini tercantum dalam adat istiadat Karo, yang dikenal sebagai “Er Turang”. Aturan ini ditegakkan oleh dewan adat atau kerabat marga, dan pelanggarannya dapat mengakibatkan sanksi sosial yang berat, seperti dikucilkan dari komunitas.
Larangan pernikahan semerga dalam masyarakat Karo adalah tradisi kompleks dengan berbagai alasan dan dampak. Tradisi ini memiliki tujuan untuk menjaga kesehatan keturunan, melestarikan identitas marga, dan menjaga keharmonisan sosial. Namun, di sisi lain, larangan ini juga dapat membatasi pilihan pasangan, menghambat cinta sejati, dan menimbulkan perasaan diskriminasi bagi beberapa individu.
Penting untuk mempertimbangkan semua aspek ini dalam diskusi tentang masa depan tradisi pernikahan di masyarakat Karo. Dialog yang terbuka dan inklusif diperlukan untuk menemukan solusi yang menyeimbangkan tradisi, kesehatan individu, dan hak asasi manusia. Hal tersebut mampu terealisasikan dengan pemahaman diri sendiri atau generasi sekarang tentang merga silima, ertutur dan sistem rebu dan aturan adat lainnya di tengah perkembangan zaman.
Di Desa Suka Nalu sendiri, konsep kekerabatan masih kental dan dipakai hingga sekarang oleh masyarakatnya. Namun dari wawancara yang diperoleh ada keterbatasan menuturkannya. Adanya keterbatasan dalam menuturkan kekerabatan tersebut bukan penghalang bagi masyarakat Suka Nalu dalam menjaga adat terutama merga dan peran mereka dalam adat. Aturan adat Suka Nalu diteruskan sampai sekarang. Salah satunya ialah pernikahan sesama merga.
Seperti yang di katakan oleh Pak Samsudin Sitepu bahwasanya “apabila ada pernikahan sesama merga maka mereka akan diusir karena itu jadi larangan antara satu merga menikah”.
Namun, meskipun ada larangan pernikahan sesama merga, hal tersebut tidak menimbulkan perubahan akan penerapan merga dalam kekerabatan masyarakat karo. Perubahan dalam adat dan kekerabatan masyarakat karo dapat dilihat dari salah satu yang ada dalam rakut sitelu yaitu anak beru. Jika dulunya tugas anak beru dalam kerja adat memasak dan ngidangi serta membawa penambahen, maka sekarang anak beru hanya membantu ngidangi dan membawa penambahen (tidak memasak). Hal tersebut dikarenakan saat sekarang ini, untuk urusan masak atau makanan saat kerja adat kebanyakan masyarakat karo memilih untuk mengandalkan catering. Sedangkan kalimbubu, walaupun tidak ada perubahan tetapi terlihat jelas bahwa adanya keterbatasan pemahaman akan kewajiban mereka. Generasi awal atau penghuni pertama di desa Suka Nalu sangat paham akan sistem kekerabatan, tetapi berbanding terbalik dengan generasi sekarang.