Lihat ke Halaman Asli

Tedy Aprilianto

Individu merdeka permbelajar filsafat untuk memberi gambaran opini generasi muda

Eksploitasi Epistemik Masyarakat Berkedok Bantu Mensejahterahkan Masyarakat

Diperbarui: 12 September 2023   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto : Zonabanten.com)

Pemahaman mengenai pengetahuan di dunia akademik merupakan hal yang lumrah terjadi. Bahkan, di dalam dunia akademik seorang intelektual akan diajarkan bagaimana cara mereka memperoleh pengetahuan. Dalam bahasa filsafat, cara seseorang mendapatkan pengetahuan itu biasa disebut dengan epistemik. Untuk mendapatkan pengetahuan, seorang intelektual memiliki perbedaan dibandingkan dengan masyarakat. Dalam masyarakat kehidupanya sangat dinamis sehingga, cara mereka mendapatkan pengetahuan tidak dapat disamakan oleh orang-orang yang berpendidikan. Dalam tulisan ini topik utama pembahasan ialah bentuk pengalaman dan dilema moral terkait epistemik masyarakat. Dilema moral merupakan hal yang maklum dialami oleh seorang akademisi. Khususnya bagi mereka yang terjun langsung membumi bersama masyarakat. 

Sebagai contoh dalam dunia perkuliahan di kampus, aktivitas akademik yang menyasar masyarakat biasanya dilakukan oleh lembaga eksekutif kampus dari setiap fakultas atau sekolah. Kegiatan ini biasa disebut dengan pengabdian kampus. Pengabdian kampus merupakan program wajib yang biasanya dilakukan untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam konteks lembaga eksekutif, kegiatan akademik berupa pengabdian memiliki adanya tujuan untuk dapat mensejahterakan masyarakat dengan mengamalkan ilmu-ilmu yang dipelajari didalam kelas.

Namun, ada sebuah problem bahwasanya dinamika pengabdian kampus dalam lembaga eksekutif justru tidak menunjukan adanya peluang mensejahterakan masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam lingkup lembaga eksekutif,  tujuan mereka hanyalah sebatas bagaimana cara mereka bisa mensejahterakan masyarakat dengan cara sederhana. Mereka berpikir demikian dengan maksud agar masyarakat tidak terbebani. Akan tetapi, apa yang coba mereka dipikirkan itu hanyalah semacam bualan sahaja. Dikarenakan sumber daya manusia yang ada di dalam lembaga eksekutif tersebut belum bisa memahami dan memainkan peran seorang akademisi dalam pengabdian. Mereka justru menginginkan adanya pengakuan sosial tanpa mempertimbangkan kebermanfaatan. Harusnya sebagai lembaga eksekutif mereka yang berisi akademisi-akademisi terpilih mampu melakukan pengabdian kepada masyarakat dengan membuka ruang-ruang untuk dialog. Dialog bersama masyarakat merupakan proses dialektika yang tidak bisa dipaksakan untuk disamakan. Melainkan membutuhkan adanya ruang-ruang khusus untuk mengetahui sisi pemahaman epistemik dari setiap pihak.

Menjadi seorang akademisi yang mengabdi dalam sebuah tempat dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat merupakan hal yang cukup berat. Hal ini dikarenakan menjadi akademisi sosial sekaligus aktivis sosial rentan terjebak dalam dilema moral. Di satu sisi, seorang akademisi yang dianggap berilmu dan memahami masyarakat harus mampu membantu masyarakat. Di sisi lain, akademisi tersebut terkadang tidak bisa bebas. Dikarenakan akademisi tersebut jebak dalam urgensi deadline yang ditugaskan atau bahkan, interaksi mereka di masyarakat terbatas. Dengan adanya keterbatasan ini, seorang akademisi  atau aktivis sosial secara tidak langsung dipaksa untuk mengeksploitasi pemahaman masyarakat demi mewujudkan visi kesejahteraan. Walaupun cara ini merupakan cara yang tidak dapat dibenarkan, mereka tetap melakukan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil kebermanfaatan dalam mensejahterakan masyarakat.

Masyarakat bukanlah objek untuk dieksploitasi epistemiknya. Hal ini dikarenakan masyarakat merupakan entitas yang mencari kebenaran dengan caranya sendiri dan tidak membutuhkan legitimasi dari tokoh-tokoh akademisi. Masyarakat sebenarnya cerdas, tetapi kecerdasan mereka terciderai oleh keegoisan epistemik akademisi yang ingin membantunya tapi  justru menghancurkan keyakinan epistemik yang ada. Melalui hal itu, kenyataan yang terjadi ialah masyarakat adalah korban egosentris akademisi yang tidak memihak kepada masyarakat. Masyarakat meyakini bahwasanya, apa yang dilakukan setiap saat adalah kebenaran. Lalu kebenaran mereka yang telah lama diyakini ini terganggu oleh adanya akademisi-akademisi kosong yang menjanjikan kesejahteraan. Bahkan, kemungkinan terburuk akademisi itu menjustifikasi bahwasanya, apa yang diyakini masyarakat adalah salah. Bahkan apa yang ia yakini adalah benar.

Disinilah letak kedok membantu kesejahteraan berdalih eksploitasi epistemik. Dengan berbekal argumen "saya siap mengabdi" yang diucapkan oleh seorang akademisi. Realitanya omongan tersebut hanyalah sebuah bualan belaka. Hal ini dikarenakan akademisi yang tergabung dalam lembaga eksekutif justru menciderai marwah pengabdian. Mereka memaksa masyarakat memahami apa yang selama ini dipahami dengan tujuan untuk menghakimi bahwasanya apa yang dilakukan masyarakat itu salah. Eksploitasi epistemik seperti inilah kerap dilakukan oleh akademisi. Mereka menganggap hal ini layak dilakukan dikarenakan waktu mereka mengabdi itu terbatas. Dengan demikian, terkadang masyarakat dengan berat hati dipaksa untuk menuruti dan mengalah demi mendapatkan dampak. Pengabdian merupakan proses pembelajaran dengan mendialektikakan epistemik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, pengabdian bukanlah letak eksploitasi epistemik. Hal ini dikarenakan masyarakat membutuhkan akademisi untuk memahami dan membantu mereka bukan mengeksploitasi dengan menuntaskan laporan sahaja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline