Tepat pada bulan suci ramadhan 1143 H umat muslim di seluruh Indonesia dihadapi dengan dinamika sosial yang cukup berbeda dari tahun sebelumnya. Tepatnya pada tahun 2021 masyarakat di bulan suci ramadhan dihadapkan dengan kebijakan pembatasan kerumunan dan himbauan untuk tidak mudik. Akan tetapi,di tahun 2022 ini masyarakat mengalami masa pemulihan yang ditandai dengan mulai terbukanya beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Setelah sekian lama masyarakat dihadapi dengan kebijakan pembatasan kini di tahun 2022 masyarakat mendapat sedikit demi sedikit pembebasan di dalam beraktivitas. Namun, ditahun ini pula tamparan demokrasi sedang marak-maraknya terjadi. Bangkitnya kebebasan masyarakat setelah pandemi menjadikan sebuah alarm besar bagi perubahan nyata. Dengan adanya moment kebangkitann kembali ini berbagai aksi demonstrasi juga bermunculan satu persatu.
Dikutip dari instagram gejayan memanggil, dipaparkan informasi bahwasanya gejolak aksi yang dilakukan masyarakat di jalanan adalah bentuk respon dari keinginan rakyat untuk menggugat dalam rangka melawan oligarki dan bangun demokrasi yang berkeadilan. Gejolak aksi di masyarakat bermula dari kelangkaan minyak goreng sebelum ramadhan yang dianggap sepele oleh rezim penguasa. Kemudian seiring dengan berjalanya waktu ancaman kelangkaan minyak goreng itu merujuk pada segala aspek perekonomian. Semula kenaikan yang terjadi di tahun ini adalah kenaikan minyak kemudian kenaikan tersebut bagaikan sebuah bom waktu yang merembet kepada seluruh kebutuhan pangan.
Dengan di susulnya berbagai macam kenaikan harga pokok membuat mau tidak mau rakyat harus bergejolak melalui demonstrasi untuk menuntut sebuah kesejahteraan. Didukung dengan kondisi bulan suci ramadhan secara tidak langsung rakyat membutuhkan logistik yang lebih dari pada biasanya. Dengan pernyataan demikian maka sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan selama bulan suci ramadhan. Namun, kenyataan di dalam kenaikan harga itu pemerintah belum mampu memberikan jaminan untuk menyejahterakan masyarakat. Kenaikan harga yang belum terkontrol di awal ramadhan menimbulkan menurunnya daya beli masyarakat. Oleh sebab itu, keresahan terjadi di masyarakat sehingga gelombang kritisisme masyarakat bermunculan untuk menuntut kestabilan bahan pokok.
Kemunculan gelombang demonstrasi tersebut kemudian diperburuk dengan naiknya eskalasi isu daerah dan isu nasional. Selain itu masyarakat juga tidak lupa terhadap isu yang telah lama ini diperjuangkan dan belum mencapai titik temu. Isu tersebut ialah isu wadas, kenaikan kembali isu ini cukup mendapatkan perhatian di masyarakat. Kenaikan kembali isu wadas di mata media publik menjadikan sebuah perhatian nyata bahwasanya perjuangan rakyat wadas sampai saat ini belum tuntas. Perjuangan rakyat wadas dilakukan dengan cara yang cukup unik dengan tujuan untuk menyadarkan publik.
Ketika aksi di jalanan tidak memberikan sebuah solusi dan titik temu maka aksi akan terjadi dengan kehadiran nyata secara diam di ruang publik. Aksi yang dimaksud ialah munculnya keberadaan aktivis wadas di dalam Masjid Kampus UGM. Bertepatan dengan hadirnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk memberikan ceramah di Masjid Kampus UGM menjadi momen yang paling cocok digunakan aktivis wadas untuk melakukan aksinya. Aksi yang dilakukan ialah dengan cara membentangkan spanduk yang bertulis 'save wadas' pada saat Ganjar Ceramah. Aksi tersebut cukup mendapatkan banyak perhatian dan bahkan menimbulkan polemik antara etis dan tidak etis aksi tersebut dilakukan.
Beruntungnya aksi tersebut cukup mendapatkan banyak perhatian oleh publik. Banyak juga beberapa masyarakat yang setuju dan mengapresiasi keberanian aktivis tersebut dengan menilai bahwa aksi tersebut merupakan rekonsiliasi masjid kembali kepada fungsinya. Walaupun berbentuk aksi simbolik saja ini adalah bukti nyata bahwa masyarakat di dalam kondisi apapun masih tetap akan berjuang demi kesejahteraan tanpa adanya hambatan apapun.
Aksi tersebut merupakan aksi yang menjadi pemantik bagi kesadaran bersama untuk memahami keadaan sosial politik negeri ini. Kemudian setelah aksi simbolik tersebut, beberapa macam aksi pun bermunculan. Kenaikan PPN sebesar 11% dan kenaikan harga BBM menjadi sebuah keresahan bersama. Walaupun respon masyarakat kebanyakan dibutakan oleh minimnya pemahaman dan literasi sehingga masyarakat mudah diadu domba bukanlah menjadi sebuah halangan di dalam memperjuangkan keadilan yang akan hilang ini.
Kenaikan PPN merupakan sebuah kebijakan yang hanya menggunakan asas 'utilitis' untuk memelihara kebijakan umum yang memerlukan keuangan tanpa mengaca kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sedangkan kenaikan bbm ini faktor yang cukup berpengaruh ialah adanya konflik antara Rusia dan Ukraina. Di dalam hal ini pemerintah menaikan BBM jenis pertamax sehingga masyarakat kelas bawah yang biasa menggunakan BBM tersebut beralih kepada pertalite. Walaupun banyak pihak yang menilai bahwasanya kenaikan harga BBM pertamax hanya akan berdampak kepada masyarakat kalangan menengah ke atas pada kondisi ini masyarakat semakin kritis dan tidak menganggap hal itu adalah halangan. Beberapa kaum intelektual muda tetap melakukan aksi demonstrasi sebagai tuntutan untuk mempertahankan stabilitas BBM dikarenakan mereka menyadari bahwasanya jika pemerintah salah mengambil kebijakan maka efeknya akan domino.
Peristiwa-peristiwa diatas adalah ragam fenomena yang terjadi di dalam kurun waktu 2 minggu awal ramadan. Kemudian di 2 minggu sisanya masyarakat cukup dikejutkan dengan adanya sebuah gejolak politik mengenai wacana dari penundaan pemilu yang dicetuskan oleh beberapa elite politik.