Lihat ke Halaman Asli

Stop! Dilarang melintas.Pejabat sedang lewat..!

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menyimak program Just Alvin Minggu malam ( 3/7 ) di stasiun Metro TV ada yang menggelitik perhatian saya. Acarayang dikemas dalam format talk show itu menghadirkan nara sumber dari kalangan broadcast senior dan junior. Diantaranya Rosiana silalahi, Sandriana Malakiano, Jason Tedjakusuma, Inke Maris dan Usi karundeng.

Point yang menarik adalah ketika Inke Maris bertutur tentang pengalamannya saat meliput kunjungan kerja presiden Indonesia Soeharto di suatu tempat. Karena terbiasa dengan suasana kerja di luar negeri Inke tanpa sengaja melintas di depan presiden. Apa yang terjadi ? Segera Inke ditegur oleh pengawal sang presiden dengan tuduhan berlaku tidak sopan.

Ceritanya memang terhenti sampai disitu. Tapi bagi saya pengalaman yang diceritakan oleh penyiar VOA itu membuka kembali ingatan saya tentang peristiwa serupa yang saya alami sendiri. Saat itu karena sebuah urusan saya terpaksa harus mengunjungi bupati di kantornya. Karena terburu-buru dan keawamam saya tentang seluk-beluk jalan di kompleks perkantoran tersebut saya masuk jalur yang dikhususkan buat sang penguasa. Akibatnya perlakuan kasar dari Hansip penjaga pun harus saya terima.

” Begitu hebatnya power seorang bupati sampai-sampai sekedar melintas di jalan depan kantornya saja tidak dibenarkan,”batin sayamendongkol sambil berputar mencari jalur lain.

Berikut adalah cerita lain lagi seputar perlakuan istimewa bagi penguasa, apakah itu bupati, walikota, gubernur ataupun presiden di negara kita. Kali ini saat mereka berada di jalan raya. Sudah bukan rahasia umum lagi demi kelancaran perjalanan sang pejabat rakyat harus sabar menunggu atau berbelok mencari jalur alternatif yang tersedia. Kalau dilanggar siap-siap saja berhadapan dengan aparat keamanan yang bertampang seram. Kesan yang kita tangkap rakyat harus mengalah mengingat petinggi negeri sedang dalam perjalanan dinas untuk mengurus kepentingan rakyat. Duh... betapa tidak enaknya menjadi kaum marginal, - pakai istilah Madid Musyawaroh di sinetron Islam KTP.

Tiga peristiwa di atas barangkali sudah cukup untuk menggambarkan betapa watak paternalistik di kalangan pejabat kita masih belum terkikis habis. Rasa ingin dihargai, dihormati dan didahulukanmerupakan hak istimewa yang otomatis didapatkan oleh penguasa di negeri ini. Padahal semboyan yang selalu di dengung-dengungkan adalah pejabat merupakan pelayan rakyat. Semestinya jika rakyat menderita penguasalah orang pertama yang merasakan penderitaan itu. Sebaliknya jika rakyat senang, merekalah orang terakhir yang merasakan kesenangan tersebut. Begitulah sejatinya konsep kepemimpinan yang ideal.

Tapi di Indonesia konsep tersebut hanya tersimpan rapi di laci para penguasa. Mereka cenderung memposisikan diri bak raja di raja yang harus di puja dan di sembah oleh rakyat. Kalaupun harus turun ke lapangan biasanya dibekali dengan seperangkat fasilitas yang menjamin kenyamanan sang pejabat. Sehingga mustahil seorang pemimpin bisa memahami penderitaan orang yang dipimpin karena dia sendiri tidak merasakan langsung apa yang dirasakan rakyatnya.

Sumpeknya udara di dalam bus kota, terjebak macet dibawah terik udara jalanan yang berdebu, repotnya antri di POM-POM bensin, merupakan contoh kecil yang kesehariannya dilakoni oleh rakyat jelata. Kondisi tidak nyaman itu hanya sebatas cerita untuk pemimpin yang senang menggunakan fasilitas jabatanseperti : mobil mewah, pengawalan super ketat dan pelayanan VIP.

Oleh karena itu pemimpin bijaksana semestinyasesekali maudan tidak canggung melepaskan segala atribut kekuasaan yang digenggamnya . Melupakan sejenak aturan protokoler yang mengikat dan berlaku sebagaimana layaknya manusia biasa pasti akan memberi efek domini yang luarbiasa bagi rakyat. Karena ketika rakyat merasa dekat dengan pemimpinnya tanpa dikomandopun semua perintah dan arahan sang pemimpin akan dipatuhi dengan benar.

Sepertiyang dilakukan pemimpin Turki, Tayyep Erdogan, ketika berhasil memenangkan pemilu dan duduk kembali sebagai orang nomor satu di negara sekuler itu untuk ke dua kalinya. Turun ke jalan, menyapa setiap orang dengan ramah, mengunjungi warga yang sakit, dan menunjukkan empati yang tinggi terhadap penderitaan raknyatnya, merupakan kunci sukses beliau dalam memikat rakyat Turki untukmemilih AK Party, kenderaan politiknya Erdogan. Tidak terbatas sampai disitu, solusi yang bijak, tepat dan cerdas selalu diberikan Erdogan ketika rakyat datang mengadukan persoalan yang menimpanya.

Alhasil, ketika rakyat merasakan jarak antara mereka dengan pemimpin begitu dekat tanpa diminta mereka akan berbodong-bondong menyalurkan aspirasinya ke seorang Tayep Erdogan.

Sekali lagi, saya dan mungkin sebagian besar rakyat Indonesia sangat merindukan lahirnya pemimpin-pemimpin yang betul-betul merakyat. Bukan sebatas slogan tapi terbukti dalam perbuatan. Cuma pertanyaannya : Masihkah sosok itu ada di Republik ini ?. (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline