Lihat ke Halaman Asli

Salahkah Jika Guru Marah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kalau Pertanyaan di atas ditujukan untukorang tua atau masyarakat umum mungkin terkesan konyol dan mengada-ada. Tetapi bagi seorang guru seperti saya dan seluruh pendidik pada umumnya tidaklah sesederhana itu. Mengapa demikian ? Sebab guru yang tugas utamanya adalah mengajar dan mendidik seringkali dihadapkan pada suasana dilematis ketika berada padasituasi yang abnormal dimana dibutuhkan sebuah ketegasan.

Beberapa contoh kasus berikut, sebagai pengalaman nyata rekan guru yang mengajar di sekolah tingkat SLTA semoga bisa memperjelas dilema yang saya maksudkan. Nama guru dan sekolah sengajatidak disebutkan untuk menjaga privacy guru dan sekolah terkait.

Karena kepergok sedang merokok di dalam kelas seorang siswa segera dihadapkan kepada guru PKS bidang kesiswaan. Saat diinterogasi dan ditanya mengapa dia berani merokok di dalam kelas, dengan santai dan tanpa beban siswa tersebut menyahut, “ Orang tua saya saja tidak melarangsaya merokok mengapa bapak yang keberatan ?”Kesal mendengarjawaban siswa yang terkesan menantang itu guru BP menjadi marah dan memberikan pukulan ringan di bagian punggung. Eh.. Keesokan harinya orang tua si anak datang beserta wartawan yang mengaku keberatan atas perlakuan guru tersebut kepada anaknya. Buntutnya sang guru harus mengeluarkan sejumlah uang untuk proses perdamaian kalau tidak ingin masalahnya dibawa ke ranah hukum.

Peristiwa lainnya juga tak kalah mirisnya. Kali ini menyangkut seorang kepala sekolah yang menangkap basah seorang siswi (maaf) sedang berciuman di balik pintu ruangan kelas dengan pacarnya dari satu sekolah. Berang dengan prilaku amoral tersebut pak kepala sekolah segera menggelandang mereka ke ruang guru dan diperintahkan untuk menghadirkanorangtua ke sekolah. Meski tidak sampai ke polisi tapi lagi-lagi pihak keluarga justru menyalahkan sekolah karenadinilai lalai dalam mengawasi anak didiknya.

Kemudian kejadian berikutnya menimpa rekan guru yang menangkap sekelompok siswa sedang asyik berpestamiras ketika proses kegiatan belajar mengajar berlangsung. Karena masuk pelanggaran disiplin kategori berat yaitu : Pencemaran nama baik sekolah beberapa guru lantas memberi hukuman fisik kepada murid yang sudah setengah mabok itu.

Akibatnya orang tua siswamengadukan guru-guru tersebutke fihak yang berwenang dengan tuduhan melanggar HAM dan kekerasan terhadap anak dibawah umur. Lagi-lagi kasus ini berujung pada perdamaiandengan pemberian ”biaya pengembali semangat”bagi anak didik yang sudah teraniaya.

Beberapa contoh kasus di atas hanya segelintir dari kasus-kasus lainnya yang mengindikasikanbetapa lemahnya posisi tawar guru dihadapan siswa dan orang tua ketika menyangkut persoalan penegakan hukum dan tata tertib di sekolah. Kita faham larangan pemberian hukuman fisik kepada peserta didik memang sudah diberlakukan pemerintahlewat Undang-Undang PerlindunganAnakNo. 23 Tahun 2003, Bab 54 yang menyatakan bahwa ” guru dan siapun lainnya di sekolah dilarang memberikan hukuman fisik kepada anak-anak.” Ditambah dengan keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan Konvensi PBB untuk hak-hak anak dimana pada artikel ke-37 jelas dinyatakan negara menjamin tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman. Semakin mempertegas keharusan memperlakukan anak didik semanusiawi mungkin.

Akan tetapi kalau mengacu pada kondisi riil di lapangan dimana sekolah harus mengasuh ratusan siswa dengan aneka ragam watak dan kebiasaan realisasi Undang-Undang tersebut bukanlah pekerjaan gampang. Bayangkan, keluarga yang memiliki dua atau tiga orang anak saja seringkalikerepotanketika akan menegakkan peraturan di lingkungan rumah-tanggaapatah lagi dengan ratusan anak. Inilah yang sering kali kurang difahami orangtua danmasyarakat luas. Kemarahan seorang guru selalu diterjemahkan sebagai bentuk arogansi jabatan. Padahalguru yang notabene manusia biasa tentu sajamempunyai potensi untuk khilaf dan marah tatkala menghadapi siswanya yang nakal atau berbuat indisipliner.

Untuk kesalahan kategori ringan dan sedang mungkin bisa ditolerir dengan pemberian sanksi teguran, baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi untuk kategori berat seperti perbuatan amoral, tindak kriminal, melawan guru, menonton video mesum, tawuran, dan sebagainya tentu tidak cukup sebatas teguran. Harus ada hukuman extra dengan maksud memberi efek jera pada si anak. Diantaranya dapat berbentuk hukuman badan yang sudah barang tentu tetap dalam koridor kewajaran, seperti : Tidak menimbulkan cacat fisik atau meninggalkan luka psikis pada anak.

Disinilah saya sering melihat berbagai ketimpangan yang terjadi. Karena terbelenggu denganHAM dan Undang-Undang Perlindungan Anak seorang guru praktis tidak berani menghukum muridnya meskipun pelanggaran yang dilakukan tergolong klasifikasi berat. Diperburuk lagi dengan sikap masyarakat dan orang tua seakan tidak rela anaknya menerima hukuman akibat dari kesalahan yang dilakukannya. Akibatnya di benak sebagian guru muncullah sikap apatis aliasmasa bodoh. Apapun tingkah polah murid guru tidak mau ambil pusing lagi. Daripada berhadapan dengan hukum mendingan pilih jalan aman. Toh, mereka bukan anak sendiri.

Ini tentu pola pikir yang tidak sehat. Selain jelas bertentangan dengan fungsi dan peran seorang guru sebagaipengajar serta pendidik anak-anak bangsa, pola fikir itu juga bisa merusak hakekat muliadari pendidikan itu sendiri. Sebagaimana diutarakan oleh pakar pendidikan Indonesia, DR. Arief Rahman Hakim, yang menyebut tugas mulia seorangguru antara lain mentransfer ilmu pengetahuan dan menanamkan sikap, moral dan pola pikir yang benar kepada anak didik mereka. Kekeliruan ini sepatutnya tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus ada solusi yang sifatnya ”win-win solution”. Artinya peraturan tetap jalan namun orang tua bisa legowo menerima hukuman yang diberikan kepada anak mereka.

Menurut sayakunci utamanya ada pada komunikasi.Bagaimana sekolah mampu membinahubungan yang harmonis dan berkesinambungan dengan seluruh orang tua siswa. Bukan sebatas pengurus komite sekolah saja. Kalau ini terwujudrasa saling memahami akan hadir diantara ke dua belah fihak.

Melibatkan orang tua dalam rapat-rapat sekolah. Memberikan informasi benar dan terperinci tentang perilaku anaksecara berkala adalah cara lain yang bisa dilakukandalam membangun kesamaan persepsi tadi. Dengan cara ini setidaknya orang tua dapat gambaran plus minus perilaku anaknya selama berada di sekolah. Efek positifnya orang tua dan guru secara bersama-sama bisa melakukan pengawasan terhadap anak.

Dan jika satu ketika guru memberikan hukuman kepada anak, orang tua dengan legowo akan menerimanya. Karena yakin hukuman yang diberikan gurumemang setimpal dengankesalahan yang diperbuat anaknya.Sehingga pada akhirnya guru tidak perlu ragu lagi memarahi siswa jika marah itu memang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Itulah solusi yang bisa saya tawarkan. Bagaimana aplikasinya ? Tentu berpulang kepada semua fihak yang terkait dengan dunia pendidikan. (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline